KATA
PENGANTAR
Puji dan
Syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’alla yang memberikan taufiq
dan hidayahNya kepada penyusun dalam menyelesaikan makalah ulumul hadis ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang
telah membawa umat dari kegelapan menuju kehidupan yang penuh cahaya kebenaran.
Mata kuliah ulumul
hadis ini merupakan mata kuliah yang
wajib bagi para Mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri maupun Swasta
dengan bobot 2 sks. Dengan adanya “hadis dhaif dan macam-macamnya” ini
diharapkan dapat membekali para Mahasiswa dalam memahamiulumul hadis . Yang
menjadi ilmu pengetahuan. Dengan memahami dan mempelajari tersebut diharapkan Mahasiswa dapat
mengamalkan materi yang telah didapatkan dalam makalah ini serta dapat mentransformasikannya
kepada masyarakat dan umat islam pada umumnya.
Sebagai upaya
memberikan arah yang lebih jelas kepada Mahasiswa, makalah ini hadir merupakan
intisari materi perkuliahan ulumul hadis yang disusun berdasarkan kurikulum
Departemen Agama Republik Indonesia yang berlaku. Dalam penjelasannya disertai
ayat-ayat Al-Qur’an, serta hadits lain yang berkaitan. Dalam pengambilan
ayat-ayat Al-Qur’an di sesuaikan dengan tema yang telah ditetapakan dalam
silabus yang berlaku untuk STAIN dan
IAIN serta yang sederajat.
Dengan
penyajian yang sangat sederhana, kiranya makalah ini mudah dipahami dan di
pelajari.Apabila di dalamnya terdapat kesalahan penulisan atau penterjemahan
serta kandungan Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada. Penyusun sangat mengharapkan
saran dan kritik demi perbaikan makalah ini.
Palangkaraya, ,
,2012
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Dalam
memahami dan mempelajari Ulumul hadis, seseorang butuh metodologi dalam
melakukan penelitian terhadap suatu materi yang akan ditelitinya.Namun, jauh
sebelum melakukan sebuah penelitian terhadap suatu materi yang harus diteliti,
dibutuhkan suatu metodologi penelitian yang digunakan sebagai pisau untuk
membedah keseluruhan dari tubuh materinya, mulai dari redaksi pengertian hadis
dhaif macam-macamnya ini sendiri serta diteliti dari segi kualitasnya.
Di
dalam makalah yang sangat sederhana ini, setidaknya ada beberapa poin
pembahasan yang menggambarkan betapa pentingnya sebuah dhaif dan macam-macamnya,
karena bagaimanapun ulumul hadis memberi peluang besar untuk selalu dipelajari
dan di pahami.
A. Rumusan Masalah.
A. Pengertian hadis dhaif.
B. kriteria-kriteria hadis dhaif.
C. macam-macam hadis dhaif
B. Tujuan
Memberi
sedikit pengetahuan tentang apa itu ulumul hadis terutama “Hadis hdaif dan
macam-macamnya” dan membuat mahasiswa termotivasi belajar dan memahaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis Dhoif.
Kata dhaif
menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai
lawan dari kata shahih, kata dhaif juga berarti saqim (yang sakit). Maka
sebutan hadis dhaif secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, yang
tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi
yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama. Al-Nawami dan Al- Qasami
mendefinisikan hadis dhaif dengan
“hadis yang di
dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis
hasan”
Muhammad ‘Ajjaj
al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dhaif adalah:
“segala hadis
yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”
Sifat-sifat
maqbul dalam definisi diatas maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam
hadis shahih dan hadis hasan, karena keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul.
Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut:
“hadis yang di
dalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis shahih dan sifat-sifat hadis hasan”
Menurut Nur
al-din ‘itr, definisi yang paling baik tentang hadis dhoif adalah:
“hadis yang
hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul”
Maksudnya,
suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadis shahih atau
hasan dinyatakan sebagai hadis dhhaif yang berarti hadis itu tertolak (mardud)
untuk di jadikan sebagai hujjah.
B.
Kriteria-kriteria hadis dhaif.
Pada definisi
diatas terlihat bahwa hadis dhaif tidak memenuhi salah satu dari kriteria dari
hadis shahih atau hadis hasan. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya,
kriteria-kriteria hadis shahih adalah: (1) sanadnya bersambung, (2) periwayat
adil, (3) periwayat dhabith, (4)terlepas dari syads, dan (5) terhindar dari
illat. Adapun kriteria –kriteria hadis hasan adalah: (1) sanadnya bersambung,
(2) periwayat adil, (3) periwayat kurang dhabith, (4) terlepas dari syadz, dan
(5) terhindar dari illat.
Berhubung
hadist dhaif tidak memenuhi salah satu dari beberapa kirteria-kriteria di atas,
maka kriteria-kriteria hadis dhaif adalah: (1) sanatnya terputus, (2)
periwayatnya tidak adil, (3) periwayatnya tidak dhabith, (4) mengandung syadz, dan (5) mengandung illat.
Penjelasan tentang kriteria-kriteria ini selanjutnya ini dapat di lihat pada
penjelesan tenteng macam-macam hadist dhaif berikut.
C.
Macam-macam hadist dhaif.
1.
Hadist dhaif karna sanatnya terputus.
Dalam kaitannya dengan keterputusan sanat, ibn
Hajar asl-asqalani membaagi hadist doif kepada lima macam, yaitu hadist
mu’allaq, hadis mursal, hadist munqathi, hadist mu’dhal, dan hadist mudallas.
a.
Hadis mu’allaq.
Hadis mu’allaq adalah hadis yang terputus di awal sanad. Kata
mu’allaq secara bahasa berarti tergantung. Sebagai ulama menyatakan, kata
mu’allaq yang secara bahasa berarti bergantung itu terambil dari pemakaian
istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung0 dan ta’liq al-jidar (dinding
tergantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan.
Secara
terminologis, hadis mu’allaq adlah hadis yang periwayatnya di awal sanad
(periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang
atau lebih secara terurut. Patokan tenttang keterputusannya terletak pada awal
sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak secara berurutan, maka hadis itu
tidak dinamakan mu’allaq.
Hadis
mu’allaq disebut hadis dhaif karena rangkaian sanadnya terputus atau hilang,
sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang
sesungguhnya.
b.
Hadis Munqathi’.
Keterputusan di tengah sanad dapat terjadi pada satu sanad atau
lebih, secara berturut-turut atau tidak, jika keterputusan terjadi di tengah
sanad pada satu tempat atau dua tempat dalam keadaan yang tidak berturut-turut,
hadis yang bersangkutan dinamakan hadis munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari
bentuk inqatha’a yang berarti berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.
Beberapa definisi tentang hadis munqathi’ para ulama berbeda
pendapat sebagai berikut:
· Hadis munqati’
adalah hadis yang sanadnya terputus di bagian mana saja, baik sanad terakhir
atau periwayat pertama (sahabat) maupun bukan sahabat (selain periwayat
pertama).
· Hadis munqathi’
adalah hadis yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang
atau tidak jelas orangnya.
· Hadis munqathi’
adalah hadis yang sanadnya dan periwayat yang gugur seorang atau dua orang
tidak secara berurutan.
· Hadis munqathi’
adalah hadis yang dlam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak
jelas.
· Hadis munqathi’
adalah yang sanadnya dii bagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus
seorang atau lebih tidak secra berurut, dan tidak terjadi di awal sanad.
Untuk
mengetahui keterputusan sanad (al-inqitha’) pada hadis munqathi’ dapat diketahui
dngan tiga cara:
· Dengan jelas,
yaitu periwayat yang menriwayatkan hadis dapat diketahui dengan pasti tidak
sezaman dengan guru yang memberikan hadis kepadanya atau ia hidup sezaman
dengan gurunya, tetapi tidak mendapatkan izin (ijazah) untuk meriwayatkan
hadisnya. Hal ini dapt dilihat dari tahun lahir/wafat mereka.
· Dengan
samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir/wafat periwayat, maka
keterputusan hadis munqathi’ hanya di
ketahui oleh orang yang ahli saja.
· Dengan
komparasi, yaitu dengan membandingkan hadis-hadis dengan hadis lian yang senada
sehingga di ketahui apakah hadis tertentu mun’athi' atau bukan.
c.
Hadis mu’an’na dan muannan.
Di samping hadis itu, hadis yang termasuk kategori hadis dhaif
karena sanadnya diduga mengalami keterputusan adalah hadis al mu’an’an dan
al-muannan. Kata al-mu’an’na merupakan bentuk maful dari kata ‘an’ana yang
berarti periwayat berkata (dari....dari....) secara bahasa berarti pernyataan
periwayat:si anu dari si anu. Kata al-muannan berasal dari kata annana yang
berarti periwayat berkata (bahwa...bahwa...) yang menunjukkan bahwa periwayat
meriwayatkan hadis dari periwayat lain dengan menggunakan metode.
Bebrapa para ulama berbeda pendapat tentang status hadis
al-mu’an’an, sebagian mereka manyatakan bahwa hadis ini kategorinya berstatus
munqathi’ yatiu sebagai berikut:
·
Hadis al-mu’an’an tidak mengandung tadlis.
·
Terdapat kemungkinan periwayat yang meriwayatkan secara al-mu’an’an
bertemu dengan yang hadisnya diriwayatkan secara ‘an’anah.
Syarat
lain yang tidak disepakati ialah:
ü Al-bukhori, ibn
al-madini, dan beberapa ulama lain mensyaratkan keharusan bertemu periwayat
yang meriwayatkan secara al-mu’an’an dengan periwayat yang hadisnya
diriwayatkan secara ‘an’anah.
ü Abu
al-muzhaffar al-sam’ani menharuskan keduanya telah lama bersahabat.
ü Abu ‘Amr
al-dani berpendapat bahwa ia harus mengetahui hadis yang diriwayatkannya. Para
ulama menhukumi hadis al-muannan sama dengan hadis al-mu’an’an diatas.dengan
demikian, hadis al-mu’an’an atau al-muannan sama-sama berstatus munqathi’ jika
tidak memnuhi persyaratan tersebut dan berkualitas dhaif.
d.
Hadis mu’dhal.
Jika keterputusan secara bertutut-turut dan terjadi di tengah
sanad, maka hadisnya dinamakan hadis mu’dhal. Kata mu’dhal berasal dari kata
kerja ‘adhala yang berarti melemahkan, melelahkan, menutup rapat. Atau menjadi
bercacat. Kata mu’dhal digunakan untuk jenis hadis tertentu karena pada hadis
itu ada bagian sanadnya yang lemah, tertutup, atau cacat. Secara terminologi,
menurut Muhammad ‘Ajjaj al-khathib, hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua
orang sanadny atau lebih secra berturut-turut.
Kriteria hadis mu’dhal adalah: (a) sanad yang gugur, lebih dari
satu orang, (b) keterputusan secra berturut-turut. Sebagian ulama menambahkan
kriteria (c) tempat keterputusan sanad di tengah sanad, bukan siawal atau
diakhir. Jadi hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang periwayatnya atau
lebih secara berturut-turut baik gugurnya itu di antara sahabat dngan tabiin,
antara tabiin dengan tabi’ al-tabi’in atau dua orang sesudah mereka.
Conttoh hadis mu’dhal dilihyat dlam kitab al-muwaththa’ karya imam
malik sebgaia berikut:
“malik bercerita padaku bahwa sebuah cerita sampai kepadanya, abu
hurayrah berkata, Rosulluloh Saw. Bersabda, ‘seorang budak berhak mendapatkan
makanan dan pakaian serta ia tidak dibebeni pekerjaan kecuali yang ia mampu”.
e.
Hadis mursal.
Sebagaimana terlihat pada penjelasan sebelunnya, sebuah hadis di
sebut mursal apabila periwayatnya oleh tabi’i langsung dari Nabi tanpa menyebut
sahabat. Kata mursal secara bahasa beerarti terlepas atau terceraikan dengan
cepat atau tanpa ada halangan. Kata ini kemudian digunakan hadis tertentu yang
periwayatnya melepaskan hadis tanpa terlebih dahulu mengaitkannya kepada
sahabat yang menerima hadis itu dari Nabi.
Secara terminologis, mayoritas ulama hadis mendeffinisikan hadis
mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’i,
baik tabi’i besar maupun tabi;’i kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan
kepada sahabat Nabi.
Berhubung hadis-hadis mursal beragam, sebagaimana djelaskan ,
membuat tingkatan hadis –hadis mursal dari ya ng tertinggi sampai yang
terrendah sebagai berikut:
·
Hadis mursal dari shabat yang bisa mendengar langsung.
·
Hadis mursal dari sahabat yang hanya dapat meiihat tetapi tidak
bisa mendengarkannya sendiri.
·
Hadis mursal dari shabat yang hidup pada dua masa (masa jahiliah
dan islam).
·
Hadis mursal dari orang oandai seperti sa’id bin al-musayyib.
·
Hadis mursal dari seorang yang tinggal bersma gurunya seperti
al-sya’bi dan mujahid.
·
Hadis mursal periwayat yang mengutip dari setia periwayat seperti
al-hasan.
·
Hadis mursal daria angkatan muda tabi’in seperti Qatadah.dkk
f.
Hadis mawquf dan hadis maqthu.
Hadis mawquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat nabi taua
hadis yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan, perbuatan, atau
persetujuannya. Dilihat dari bahasa, kata mawquf berasal dari kata waqafa
yaqifu yang berarti di hentikan atau diwakafkan. Maksudnya, hadis jenis ini
dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada nabi.
Menurut ibn hajar al-asqlani, sebuah hadis di sebut mawquf jika
disandarkan pada shabat baik sanadnya bersambung maupun tidak. Pendapat ini
sejalan dengan pernyataan ibn al-shalah yang membagi hadis mawquf menaji dua :
(1) mawquf mawshul, yaitu hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada sahabat
sebagai sumber hadis dan (2) mawquf ghayr mawshul, yatitu hadis mawquf yang
sanadnya tidak bersambung.
Hadis maqthu’ berasal dari kata qatha’a (memotong) lawan kata
washala (menghubungkan). Secara istilahberarti hadis yang disandarkan kepada
seorang tabi’i atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan. Dengan kata
lain hadis maqthu adlah perkataan, perbuatan taua ketetapan tabi’in atau orang
–orang sesudah mereka. Disebut maqthu karena hadis itu terpotong, kerena
sandarannya dipotong hanya sampai pada tabi’in.
Sebagaimna hadis mawquf, hadis maqthu berstatus lemah dan kerenanya
tidak dapat dijadikan hujjah meskipun betul hadis itu berasal dari tabi’in.
2.
Hadis dhaif karena periwayatnya tidak adil.
a. Hadits mawdhu
Hadits
mawdhu adalah hadits dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada rasulullah.
Secara bahasa, mawdhu berarti sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk),
dan diada-adakan (al-muftara).
Menurut istilah, hadits mawdhu adalah pernyataan yang dibuat seseorang pada
nabi saw. Hadits mawdhu diciptakan oleh pendusta disandarkan kepada rasulullah
untuk memperdayai.
Kriteria
hadits mawdhu cukup banyak berbeda dengan kriteria hadits yang lain yang
relatif lebih sedikit dan dikalangan ulama tidak ditentukan secara teperinci.
Kriteria hadits pals
dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Kriteria sanad: pengakuan periwayat
(pemalsu) hadits, bertentangan dengan realita historis periwayat, periwayat
pendusta, dan keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.
2. Kriteria matan: buruk lafal atau
redaksinya, rusak maknanya.
b. Hadits matruk
Hadits
matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh sebagai
pendusta. Menurut mahmud al-Thahhan, sebab periwayat tertuduh dusta adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan tidak
diriwayatka kecuali dari periwayat itu dan bertentangan denga kaidah-kaidah
yang telah diketahui
2. Diketahui periwayat berdusta dalam
pembicaraan kesehariaan, tetapi belum terbukti pernah berdusta tentang hadits
nabi.
c. Hadits munkar
Hadits
munkar berasal dari kata al-inkar
(mengingkari) lawan dari al-iqrar (menetapkan). Kata munkar
digunakan untuk hadits yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadits
lain yang lebih kuat. Dikalangan ulama hadits, hadits munkar didefinisikan
dengan:
1. hadits yang dalam sanatnya terdapat periwayat
yang mengalami kekeliruan,kesalahan dan pernah berbuat fasik.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh periwayat
yang dha’if bertentangan dengan riwayat periwayat yang tsiqoh.
3. Hadis dhaif
karena periwayatnya tidak shahih.
Diantara hadis yang dhaif karena periwayat tiadk dhabith adalah
hadis mudallas, hadis mudraj, hadis maqlub, hadis mazid, hadis mudhtarib, hadis
mushahhaf, dan hadis majhul.
a.
Hadis mudalllas.
Berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu aatu
menyembunyikan cacat, mudallas berarti suatau hadis yang terdapat dalamm tipuan
ataau cacat. Menurut iastilah, hadis mudalllas adalah hadis yang diriwayatkan
dengan cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak cacat. Periwayat yang
menyembunyikan cacat di sebut mudallis, hadisnya disebut al-mudallas, dan
perbuatan menyembunyikan di sebut al-tadlis.
Secara umum, jenis tadlis ada dua macam, yaitu: tadlis al-isnad dan
tadlis al-syuyukh. Tadlis al-isnah adalah periwayat hadis menyatakan telah
menerima hadis dari periwayat tertentu yang sezaman dengannya, padahal mereka
tidak pernah bertemu atau mungkin saja mereka pernah berteu tetapi mereka tidak
pernah diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian dan penerimaan periwayat
hadis. Dalam hal ini terjadi penyembunyian periwayat dan sanad. Biasanya
periwayat yang digugurkan adalah periwayat yang lemah dengan tujuan agar sanad
hadis yang bersangkutan dinilai berkualiatas baik oleh orang lain. Perbuatan
hadis tadlis dalam hadis sangat dilarang oleh para ulama terutama hadis
isnah.karena dengan melakukan tadlis isnah berarti seseorang telah mengelabui
oarang lain dengan menyampaikan hadis atau periwayatnya yang bercacat
seolah-olah tidak cacat.
Disamping tadlis isnah dikenal pula tadlis al-taswiyah, yaitu periwayat
mengugurkan gurunya atau guru dari gurunya atau oranglain karena lemah atau
masih kecil kemudian dengan lafal tegas menyatakan mendengar hadis dari periwayat tertentu hingga sanad
bersambung (muttasil) pada periwayat tsiqah (terpercaya).
b.
Hadis mudraj.
Kata mudraj berasal dari kata adraja (menyisipkan) seprti kata (aku
menyisipkanmu pada sesuatu, jika akau memasukkanmu dan memngumpulkannya dengan
sesuatu yang lain itu). Menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang
bentuk sanadnya diubah atau ke dalam
matannya dimasukkan sesuatu kata atau dua kalimat yang sebetulnya bukan bagian
dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.
Hadits mudraj dapat terjadi pada sanad atau matan,yaitu kata atau
kalimat yang dimasukan kedaalam hadis itu dapat terjadi pada sanad atau
matan.ibn al-shalah menyatakan bahwa kata atau kalimat yang masukberagam
jenisnya. Antara lain perkataan sebagian periwayat nya , misalnya seorang
sahabat atau yang sesudahnya menyebutkan perkataanya sendiri setelah
meriwayaatkan suatu hadis,lalu orang sesudahnya meriwayatkan perkataan itu
secara bergandengan dengan hadis tanpa ada tanda pemisah atau pembatas,
sehingga orang tidak mengerti akan mengaggap bahwa semuanya adalah sabda Nabi.\
Faktor pendorong dilakukanya penyisipan dalam hadis, menurut mahmud
al-thahhan, cukup banyak dan sering adalah: (1) karena keinginan untuk
menjelaskan hukum syara’ (2) menistibadkan hukum syara’ dari suatu hadis
sebelum hadis itu selasai diriwayatkan secara keseluruhan dan (3) menjelaskan
lafal yang jarang dalam hadis. Juga karena terjadi kesalahan dalam memahami
suatu pernyataan sebagai hadis sebagai mana kasus tsabith di atas. Para ulama
melarang berhujjah dengan hadis mudraj dan memasukkan sebagai bagian dari hadis
dhaif:
Untuk mengetahui keberadaan al- idraj dalam seatu hadis dapat
ditempuh dengan cara:
1.
Mebandingkan hadis itu dengan riwayat lain, yaitu ketika hadis itu
di riwayatkan secara terpisah dalam riwayat lain.
2.
Berdasarkan ketetapan para kritikus hadis yang menyatakan bahwa
redaksi hadis tertentu merupakan al-idraj.
3.
Melalui pengakuan periwayat sendri bahwa ia telah menyisipkan kata
dalam suatu hadis tertentu dan,
4.
Melalui pemahaman bahwa mustahil Rasulluloh Saw bersabda dengan
redaksi itu.
c.
Hadis maqlub.
Sebuah hadis yang diriwayatkan dengan cara menganti kata-kata lain baik pada sanad maupun
muatannya di sebut hadis maqlub. Kata al-maqlub sendiri berasal dari kata
al-qalb yang berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Jadi, hadis maqlub
adalah hadis yang didalamnya periwayat menukar suatu kata ataua kalimat dengan
kata atau kalimat lain.
Pembalikkan matan dapat dilakukan pula dengan meletakkan hadis pada
sanad yang lain dan sanad hadis itu pada matan yang lain pula, dengan maksud
unutk menguji kemanpuan periwayat tertentu dalam menghafal hadis, misalnya yang
dilakukkan oleh ulama bahgdad ketika menguji al-bukhari mereka terdiri dari
sepuluh orang, masing-masing mengubah sepuluh hadis sehingga jumlahh semuanya
seratus hadis. Al-bukhari mengembalikan hadis-hadis itu pada tempat semula
seperti sebelum diubah. Tak satupun hadis yang salah pemepatannya. Juga, ujian
yahya ibn ma’in terhadap abu na’im dengan scara menulis tiga puluh hadis yang
berasal dari abu na’im setiap sepuluh hadis disisipi dengan satu hadis yang
tidak berasal darinya. Sebagai mana al-bukhari, abu na’im dapat menyelaksi
hadis-hadis yang bukan riwayatnya dan memperbaikinya.
Menurut mahmud al-Thahhan, faktor-faktor pendorong terjadinya hadis
maqlub adalah:
1.
Agar suatu hadis menyendiri dan orang-orang senang meriwayatkan dan
berhujjah dengannya.
2.
Untuk menguji kekuatan hafalan seorang ahli hadis.
3.
Karena kesalahan dan kelalaian tanpa sengaja.
d.
Hadis mazid.
Jika sebuah hadis mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan
berasal dari hadis itu baik pada sanad maupun matan, maka hadis itu disebut
hadis mazid. Kata mazid sendiri merupakan isim maful dari kata al-ziyadah
(tambahan). Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad
dilakukkan dengan menambah nama perwayat atau memarfukan hadis mawquf atau
me-mawshulkan hadis mursal. Hadis mazid dafri segi sanad yang berupa penambahan
nama periwayat misalnya, hadis riwayat ibn al-mubarak.
Hadis mazid dari segi matan terjadi dengan adanya tambahan kata
atau kalimat dalam matan hadis itu. Menurut ibn al-shalah seperti dikutip mahmud al-Thahhan, terdapat
tiga kategori hadis mazid dari segi matan yaitu:
1.
Tambahan yang tidak yang tidak mengandung pertentangan dengan hadis
poeriwayat yang tsiqoh atau lebih tsiqoh darinya.
2.
Tambahan yang mengandung pertentangan dengan hadis periwayat yang tsiqoh
atau yang lebih darinya.
3.
Tambahan yang mengandung semacam pertentangan (nau’ munafah) dengan
periwayat yang tsiqoh atau lebid tsiqoh.
e.
Hadis mudhtharib.
Kata al-mudtarib berasal dari kata al-idthirab yang berarti
kekacauan sesuatu dan kerusakakan aturannya. Menurut istilah, muththrib adalah
hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi sama dengan
kekuatan. Maksudnya, hadis yang diriwayatkan dengan be\ntuk yang bertentangan
yang berdeda serta tidak mungkin dilakukan kompromi.
Dari definisi di atas di
ketahui bahwa kriteria hadis mudhtharib adalah: (1) adanya kekacauan riwayat
hadis dan tidak mungkin dilakukan kompromi adanya keduanya, (2) adanya kesamaan
kekuatan riwayat sehinggga tidak mungkin dilakukkan tarjih antara keduanya.
f.
Hadis mushahhaf.
Kata mushahhaf berasal dari
bahasa arab al-tashhif yang berarti salah dalam membaca lembaran, kata al-shahafi berarti orang yang slah dalam membaca
lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca.
g.
Hadis majhul.
Kata majhul yang juga disebut al-jahalah bi al-rawi, berasal dari
kata jahiliah lawan kata ‘alima yang berarti bodoh, tidak mengetahui. Menurut
istilah, majhul adalah hadis yang tidak ketahui jati diri periwayat atau
keadaanya. Dalam hal ini, periwayat tidak diketahui jati diri dan
kepribadiannya atau kepribadiannya di ketahui tetapi diketahui kadailan atau
ke-dhabith-annya.
Hadis majhul
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan sifat atau identitas
yang menyebabkanya majhul, yaitu:
1.
Majhul al-‘ayn, yaitu periwayat yang namanya di sebut tetapi
hadisnya hanya diriwayatkan oleh seotrang periwayatnya saja.
2.
Majhul al-hal, yaitu periwayat yang hadisnya diriwayatkan oleh dua
orang periwayat atau labih tetapi tidak di sertai penilaian positif atau negatif.
3.
Al-mubham, yaitu perwayat yang namanya tidak disebut dalam hadis,
misalnya si anu, seorang laki-laki, atau seorang syekh meriwayatkan hadis
tertentu.
Keberadaan hadis majhul disebabkan oleh faktor-faktor penyebab baik
yang terkait dengan identitas periwayat, kuantitas perwayat, atau faktor
penyebutan nama, sebagai berikut:
1.
Banyaknya identitas periwayat baik berupa nama, julukan, sifat,
asal daerah, keturunan, dan sebagainya.
2.
Hadis yang diriwayatkan oleh tertentu jumlahnya sedikit sehingga
tidak banyak periwayat lain dam periwayatkan dari hadisnya.
3.
Tidak adanya penjelasan tentang nam periwayat dengan maksud untuk
meringkas atau maksud lain.
4. Hadits dha’if karena mengandung syadz
Secara
bahasa syadz merupakan isim fa’il dari syadzadza
yang berarti menyendiri (infarada)
dan yang dimaksud adalah (sesuatu yang menyandiri terpisah dari mayoritas).
menurut istilah, syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah
dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebi tsiqah. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan
ulama. Menurut al-syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan banyak periwayat yang juga tsiqah. Berbeda dengan al-hakim
al-nasyaburi menyatakan bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat tsiqah, tetapi tidak periwayat tsiqah lain yang
meriwayatkannya.
Jadi
bagi al-syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila: hadits itu
memiliki lebih dari satu sanad,para periwayat hadits itu seluruhnya
tsiqah,matan atau sanad hadits itu mengandugn pertentangan. Sedangkan bagi
al-hakim suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila: hadits itu hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat (fard muthlaq), periwayat yang sendirian
itu bersifat tsiqah.
Dengan
demikian perbedaan al-syafi’i dan al-hakim dalam hal ini adalah: bagi
al-syafi’i hadits itu memiliki lebih dari satu sanad dan menurut al-hakim hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat (fard muthlaq). Menurt al-syafi’i, harus
terjadu pertentangan matan dan sanad periwayat yang sama-sama tsiqah dan bagi
al-hakim tidak harus terjadi pertentangan matan atau sanad dari periwayat yang
sama-sama tsiqah itu.
Berbeda
dengan al-syafi’i dan al-hakim, Abu ya’la al-khalili berpendapat bahwa hadis
yang sanadnya hanya satu macam, baik periwatnya bersifat tsiqah maupun tidak.
Apabila periwatnya tidak tsiqah maka ditolak sebagai hujjah, sedang bila
periwatnya tsiqah, maka hadits itu dibiarkan(maukuf), tidak ditolak dan tidak
sebagai hujah. Jadi al-khalili sebuah hadits dikatakan mengandung syadz
apabila: hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat, periwayat yang
sendirian itu mngkin bersifat tsiqah atau tidak.
Para
ulama hadits seperti Ibnu Al-shalah, Al- Nawawi, Ibnu Hajar Al Asqolani,
Al-Syuyuti, Al Iroqi, Muhammad Al-Shabbagh, Subi Al-shalih dan beberapa ulama
lain sepakat dengan Al-Syafi’i ketika mendefinisikan hadits Syadz tersebut. Hal
ini logis, karena disamping penererapannya tidak sulit juga. Jika pendapat
Al-Hakim dan Al-Kholili yang diikuti, maka banyak hadits yang oleh ulama
dinilai shohih akan berubah menjadi tidak shohih, karena hadits yang
diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang sedirian termaksuk hadits ahad kategori
Gharib yang jumlahnya sangt banyak.
5.
Hadits
Dha’if Karena Mengandung Ilat(cacat)
Jika dalam sebuah hadits terdapat
cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak shahih maka hadits itu dinamakan
hadits mu”alal yaitu hadits yang mengandung ilat. Kata Al-Mualal merupakan isim
ma’ful dari kata a’allah(mencacatkannya). Secara bahasa kata ilat berarti
cacat, kesalahan baca, dan keburukan. Menurut istilah ahli hadits ilat berarti
sebab yang tersembunyi yang dapat merubah keshahihan hadits.
Sebagai
sebab kecacatan hadits, pengertian ilat disini berbeda dngan pengertian Ilat
secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat hafalan. Cacat
umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah Al-Tha’n atau
Al-Jarah dan terkadang diistilahkan dengan Ilat dalam arti umum. Cacat umum ini
dapat mengakibatkan pula lemahnya sanat, tetapi hadits yang mengandng cacat itu
tidak disebut dengan hadits mualal(hdits yang bercacat).
Dilihat
ari segi periwayat, hdits mualal sama dengan hadits syadz, yaitu keduanya
sama-sama diriwayatkan oleh periwayat tsiqah. Bedanya, dalam hadits mualal
Ilatnya dapat ditemukan sedangkan dalam hadits Syadz tidak. Sebagaimana telah
dijelaskan, tidak hanya Ilat merupakan salah satu syarat keshahihan suatu
hadits. Jika suatu hadits mengandung Ilat maka ia dinyatakan tidak shahih.
Suatu
ilat hadits dapat terjadi pada sanat, pada matan, atau pada sanad dan matan
sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak ilat terjadi pada sanad. Masing-masing
hadits, baik ilatnya terjadi pada sanad, matan, atau pada sanad dan matan
sekaligus disebut hadits mualal. Suatu hadits juga disebut mengandung ilat
apabila berupa hadits maqthu diriwayatkan secara marfu atau hadits munqathi
yang diriwayatkan secara muttashil yang diketahui setelah dilakukan
perbandingan sanad hadits.
6. Kehujjatan hadis da’if
Dikalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjatan hadis dha’if. Setidaknya
terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat atau tidaknya berhujah dengan
hadits jenis ini. Pertama menurut Yahya Ibnu ma’in, Abu Bakar Ibnu Arabi,
Al.Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hajam hadits Dha’if tidak dapat diamalkan secara
mutlak baik dalam masalah fada’il Al-mal maupun hukum. Kedua, Abu Daud dan
Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat bahwa hadits Dha’if dapat diamalkan secara
mutlak. Ketiga, merurut Ibnu Hajar Al-Asqalani hadits Dha’if dapat dijadikan
Hujah dalam masalah fadhail al-a’mal mawa’izh, al-tharib wa al-tagrib dan
sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat
itu adalah ke-dhaiannya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para
pendusta atau tertuduh dusta,atau sangat banyak mengalami kesalahan,terdapat
dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan,ketika mengamalkanya tidak beriktikad
bahwa hadis itu tsubut,tetapi
sebaiknya dalam rangka berhati-hati. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-khatib,
pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, sebab masalah
keutamaan-keutamaan (fadhail al-a’mal)
dan kemuliaan akhlak (makarim al-akhlaq), temasuk pula mawa’izh,al-targhib merupakan
tiang-tiang agama yang tidak ada berbeda dengan hukum yang harus berdasar hadis
shahih atau hasan, karena kesemuanya itu harus harus bersumber dari hadis yang maqbul.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kata dhaif menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi
(yang kuat). Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif juga berarti saqim
(yang sakit). Maka sebutan hadis dhaif secara bahasa berarti hadis yang lemah,
yang sakit, yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya
dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama
Macam-macam hadis dhaif, yaitu:
1. Hadis karena
sanadnya terputus.
a. Hadis mu’allaq
b. Hadis
munqathi’.
c. Hadis mu’an’an
dan hadis muannan.
d. Hadis mu’dhal.
e. Hadis mursal.
f. Hadis mawquf
dan hadis maqthu’.
2. Hadis dhaif
karena periwayatnya tidak adil.
a. Hadis mawdhu’.
b. Hadis matruk.
c. Hadis munkar.
3. Hadis dhiaf
karena periwayatnya tidak dhabith
a. Hadis mudallas.
b. Hadis mudraj.
c. Hadis maqlub.
d. Hadis mazid.
e. Hadis
mudhtharib.
f. Hadis
mushahhaf.
g. Hadis majhul.
No comments:
Post a Comment