Social Icons

Pages

September 26, 2012

Musik Islam atau Non-Islami


Orang sering keliru memahami tentang musik. Jika sebuah music bernuansa padang pasir atau berbahasa Arab lalu disebut dengan music Islami. Sedangkan jika music itu berbahasa Inggris maka tidak disebut dengan music Islami. Memamg tidak dapat dipungkiri lagi bahwa music sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Lantas, adakah music yang bersifat Islami atau adakah music yang benar-benar Islami?
Untuk menjawabnya setidaknya ada dua pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, bagaimana hokum menyanyi? Kedua, bagaimana hukumnya memainkan alat music?
Dalam hal hokum menyanyi (tanpa iringan alat music), para Ulama masih berselisih pendapat. Para Ulama yang mengaharamkan menyanyi melandaskan pendapatnya pada hadits Nabi:
الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء الزرع
“Menyanyi dapat menimbulkan nifak di dalam hati, sebagaiman air dapat menumbuhkan tanaman”.
Hadits ini juga didukung sejumlah ayat al-Qur’an, seperti Q.S Luqman: 30, an-Najm: 59, dan al-Isra’: 64.
Namun berbeda dengan pendapat Imam Ibn Arabi. Menurut beliau, kebanyaka Ulama cenderung tidak mengharamkan menyanyi karena mengandung unsur seni. Suatu ketika beliau pernah berkata:
“Nyanyian adlah hiburan yang dapat menggetarkan hati. Hal ini menurut pandangan banyak Ulama, termasuk didalamnya Malik bin Abbas, tidak ada satupun ayat dalam al-qur’an dan sunnah yang mengharamkannya.”
Masih menurut beliau, tidak ada satu pun hadits shohih yang mengharamkan tentang menyanyi. Sementara landasan ayat al-Qur’an tidak secara langsung berkenaan tentang persoalan menyanyi. Pendapat ini dilandaskan pada hadits ‘Aisyah yang artinya, ‘Aisyah berkata: “Rasul masuk ke kamarku, sementara didekatku ada dua orang hamba yang sedang bernyanyi tentang Bu’ats. Lalu Rasul berbaring dan memalingkan muka. Kemudian Abu Bakar masuk dan mendamparku sambil berkata: “Seruling setan didekat Rasulullah!”. Rasul kemudian berbalik dan bersabda: “Biarkan mereka.” Setelah Abu Bakar berlalu aku menyuruh dua budak keluar.”
Berbeda lagi dengan pendapat Imam al-Gazhali. Menurut beliau, menyanyi dengan iringan alat music boleh asalkan ada beberapa catatan, yakni:
·         Penyanyinya bukan perempuan yang haram dilihat serta lantunan suaranya menimbulkan fitnah,
·         Alat musiknya bukan termasuk jenis alat yang oleh syara’ tidak diperkenankan, seperti seruling, gitar dan gendang,
·         Lirik lagunya tidak mengandung kata-kata jorok, keji, ejekan, pengingkaran terhadap Allah dan Rasulnya atau menggambarkan sosok wanita,
·         Pendengar lagu tidak lantas dikuasai nafsu birahi dan angkara murka lantaran mendengarkan lagu tersebut,
·         Lirik lagu yang dinyanyikan memungkinkan untuk menambahkan rasa cinta kepada Allah.
Untuk memahami posisi music dalam pandangan Islam, apa pun jenisnya kita bisa mengajukan pertanyaan: adakah music yang lagunya sama sekali tidak dinyanyikan oleh wanita? Adakah music yang tidak memakai alat seruling, gitar atau gendang? Adakah lirik lagu yang terbebas dari lirik yang mendorong syahwat dan lirirk itu dapat menambah cinta seseorang pada tuhannya? Jika jawabannya “tidak ada”, maka kita bisa mengatakan bahwa tidak ada music yang bersifat Islami atau yang benar-benar Islami.
Abdul Qadir Ahmad Atha dalam sebuah karyanya mengatakan:
“Pengharaman menggunakan alat music semacam gitar disebabkan besarnya potensi untuk mendorong seseorang minum-minuman keras, mengumbar kepuasan dengan menghadiri konser music yang sudah tentu mengundang syahwat dengna suguhan lirik lagu dan goyangan yang aduhai.”
Argument ini berada dalam garis besar ide bahwa segala macam kegiatan manusia seharusnya berada dalam rangka menigkatkan kadar ketaatan kepada Allah SWT serta menghindarkan terjadinya fitnah dan angkara murka. Maka dalam hokum Islam disebut dengan syadd adz-Dzari’ah, yakni segala sesuatu yang berpotensi besar membawa seseorang melanggar tuntunan moral dan ajaran agama, maka sekuat mungkin hal tersebut dicegah sebelum orang itu benar-benar terseret melakukan sesuatu yang dikhawtirkan.

Referensi:
-          Fath al-Bari, Jilid XI
-          Hadza Halal wa Hadza Haram
-          Nail al-Authar, Juz VII

No comments:

Post a Comment