BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, beliau tidak meninggalkan
wasiat tentang siapa yang akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat
Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad SAW menyerahkan persoalan tersebut
kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk menentukannya. Karena beliau sendiri
tidak pernah menunjuk di antara sahabatnya yang akan menggantikannya sebagai
pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan yang dapat
menentukan siapa penggantinya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat bahkan
jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di
Balai Kota Bani Saidah Madinah untuk memusyawarahkan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Dalam musyawarah tersebut cukup berjalan alot, karena dari
masing-masing pihak, baik dari Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam.
Namun dengan semangat ukhuwah
Islamiyyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar secara demokratis terpilih menjadi pemimpin
umat Islam menggantikan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Rasa semangat ukhuwah
Islamiyah yang dijiwai sikap demokratis tersebut dapat dibuktikan adanya
masing-masing pihak menerima dan mau membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat
Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana biografi Abu Bakar?
b. Bagaimana proses pengangkatan Abu Bakar
sebagai Khalifah ?
c. Bagaimana keadaan pemerintahan pada masa
Khalifah Abu Bakar?
d. Apa saja kemajuan-kemajuan yang diperoleh Abu
Bakar?
3. Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan pada makalah ini dalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui biografi Abu Bakar.
b.
Mengetahui pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah
c.
Mengetahui keadaan pemerintahan pada masa Khalifah Abu
Bakar
d.
Mengetahui kemajuan-kemajuan yang diperoleh Abu Bakar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu
Bakar As-Siddiq
Abu Bakar As
Siddiq lahir di Mekah pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum hijrah. Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Ustman bin ‘Amr bin Ka’b bin sa’d bin taim bin
Murrah At Taimi. Dia merupakan khalifah pertama dari Al-Khulafa'ur Rasyidin ,
sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan termasuk di antara orang-orang yang
pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun), dan juga mendapat gelar As Siddiq
karena ia bergegas membenarkan kerasulan Rasullulah terutama pada keesokan hari
pada peristiwa "Isra Mi’raj". [1]
Ayahnya
bernama Usman (juga disebut Abi Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Saad bin Taim bin
Murra bin Kaab bin Luayy bin Talib bin Fihr bin Nadr bin Malik. Ibunya bernama
Ummu Khair Salma binti Sakhr. Kedua orang tuanya berasal dari suku Taim, suku
yang melahirkan banyak tokoh terhormat. Dalam usia muda
itu ia menikah dengan Qutailah binti Abdul Uzza.Dan perkawinannya ini lahir dua
orang putra bernama Abdur Rahman dan Aisyah.[2]
Sejak kecil
ia dikenal sebagai anak yang baik, sabar, jujur, dan lemah lembut, dia
merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati. Sifat-sifat yang mulia itu
membuat ia disenangi oleh masyarakat. la menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW
semenjak keduanya masih remaja. Setelah dewasa ia mencari nafkah dengan jalan
berdagang dan ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat
dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses.[3]
Abu Bakar
adalah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu
kebodohan dan kepalsuan belaka, ia adalah orang yang menerima dakwah tanpa ragu
dan ia adalah orang pertama yang memperkuat agama Islam serta menyiarkannya. Di
samping itu ia suka melindungi golongan lemah dengan hartanya sendiri dan
kelembutan hatinya.[4]
Di samping
itu, Abu Bakar dikenal mahir dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah
keturunan). la menguasai dengan baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku arab,
bahkan ia juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan masing-masing dalam
bangsa arab.[5]
B. Proses
Pengangkatan Abu Bakar
Rasulullah tidak meninggalkan pesan kepada seorang
juga dari sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum
Muslimin sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum Muslimin
berdasarkan hasil musyawarah diantara mereka sendiri . ketika berita wafat
Rasulullah tersiar, berkumpulah golongan Muhajirin dan pihak Anshar di rumah
Bani Sa’adah di Madinah. Mereka bermaksud hendak membai’at seseoarang dari golongan
mereka.[6]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin dan
pihak Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin. Situasi yang memanas inipun
dapat diatasi oleh Abu Bakar, dengan cara Abu Bakar menyodorkan dua orang calon
khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah.
Namun keduanya justru menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan baiat memilih
Abu Bakar, seraya umar berkata kepadanya: bukankah Nabi telah menyuruhmu
wahai Abu Bakar, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah Khalifah pengganti dan penerus beliau. Setelah
itu kaum Muhajirin dan
Anshar berturut-turut membai’atnya. Bai’at As Saqifah ini dinamakan bai’at Al
Kahshshah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok kecil dari Muslimin,
yakni mereka yang hadir di As Saqifah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu
Bakar di atas mimbar Masjid Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara
umum kaum muslimin membai’atnya.[7]
Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah dengan berbagai
alasan yaitu,
1. Abu Bakar adalah suku Quraisy dan
ahli nasab, yang merupakan keahlian yang sangat berguna pada masa itu.[8]
2. Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama
yang pertama yang sangat memahami jalan pikiran beliau, ia satu-satunya sahabat
yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika
bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk mengimami
shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan
berakhlak mulia.[9]
3. Beliau sangat dekat dengan
Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan.
Beliau seorang dermawan yang mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam.[10]
C. Pemerintahan Pada
Masa Khalifah Abu Bakar
1. Perbaikan
Sosial
kebijakan
sosial yang dilakukan Abu Bakar untuk menciptakan stabilitas wilayah Islam yaitu
sebagai berikut:
a. Hurub ahler
riddah,(tindakan
pembersihan) yaitu peperangan yang dilakukan membasmi kaum riddat yang
menentang Islam. Tindakan pembersihan terhadap penghianat negara ini, bukan
saja dilakukan terhadap mereka yang melakukan riddat, tetapi juga terhadap
mereka yng tidak mau membayar zakat. Tindakan ini dijalankan secara konsekwen
di zaman Khalifah I Abu Bakar, sehingga negara Islam dapat dibersihkan dari
anasir-anasir yang berbahaya.[11]
b. Al-Futuh (tindakan pembebasan) yaitu
peperangan yang dikobarkan untuk membebaskan daerah-daerah dan rakyat yang dari
penjajahan dan penindasan. Jika tindakan yang pertama di atasa adalah
tindakan”kedalam” maka tindakan yang kedua ini adalah tindakan “keluar”, dimana
umat Islam berhadapan dengan negara-negara penjajah yang berkuasa dimasa itu.
Adapun tindakan pembebasan ini dilakukan atas tiga tingkatan:[12]
ü Terhadap daerah-daerah Arabia,
ialah tanah-tanah palestina dan Syria dari penjajahan Romawi, dari tanah-tanah
Iraq dan Yaman dari penjajahan Persia.
ü Daerah-daerah diluar Arabia,
ialah Mesir dan seluruh Afrika Utara dari penjajahan Romawi.
ü Pembebasan rakyat dari
pemerintahan yang zalim, seperti meruntuhkan pemerintah Persi yang kejam.
2. Sistem
Politik
Pengangkatan Abu
Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan bukti bahwa Abu
Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya
sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan
terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan
kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagaipemimpin pemerintahan. Tampaknya sistem politik Islam yang dijalankan masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah,
bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat
ditangan Khalifah, selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga
melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti Nabi Muhammad Abu Bakar selalu
mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.[13]
Sistem pemilihan kepala negara dizaman Abu Bakar yaitu menggunakan sistem
musyawarah karena sistem musyawarah merupakan sistem yang paling baik dan
sempurna dari pada segala cara yang dilakukan dengan sehabis kemampuan oleh
manusia yang berfikiran maju sampai zaman sekarang.[14]
Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran:159, sebagai
berikut: yang artinya:
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[15]
kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S Ali Imron: 159).[16]
Sedang kebijaksanaan politik
yang diilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya
yaitu: Mengirim pasukan dibawah pimpinan
Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari
rencana Rasulullah, ketika beliau masihhidup.
Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyakyang tidak
setuju dengan kebijaksanaan Khalifah ini. Alasan mereka, karenadalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala
kemunafikan dankemurtadan yang merambah untukmenghancurkan Islam dari
dalam. TetapiAbu Bakar tetap mengirim pasukan Usamah untuk menyerbu Romawi,
sebab menurutnya hal itu merupakan perintah
Nabi SAW. Pengiriman pasukanUsamah ke Romawi di bumi Syam pada saat itu
merupakan langkah politik yang diambil oleh Abu Bakar.
3.
Perekonomian
Sedangkan kebijakan yang dicapai
untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian, Abu Bakar membentuk
lembaga "Baitul Mal", semacam kas negara atau lembaga keuangan.
Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi SAW yang digelari
"amin al-ummah" (kepercayaan umat).[17]
Kebijakan lain yang ditempuh Abu
Bakar yaitu membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini
ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian
dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar
adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat
balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat
bagian yang sama.[18]
Selama masa
pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka
waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin,
bahkan ketika Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan
negara. Seluruh kaum
Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila
pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan
tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut
berimplikasi pada peningkatan pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang
pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.
4. Budaya
Pada masa itu
mereka memiliki kebiasan yaitu melakukan serangan-serangan mendadak untuk
mendapatkan harta rampasan perang yang dilakukan oleh orang-orang Arab seperti
terjadi diwilayah-wilayah Sasaniyah, merupakan kebiasaan pra–Islam . hal
tersebut dilakukan karena pada saat itu perdagangan di Arab mengalami
kehancuran, terutama setelah terjadi peperangan riddah.[19]
D. Kemajuan-kemajuan
yang dicapai Abu Bakar
Kemajuan yang telah dicapai pada masa
pemerintahan Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun, antara lain:[20]
1. Perluasan dan Pengembangan
wilayah Islam
Adapun usaha yang ditempuh untuk
perluasan dan pengembangan wilayah Islam Abu Bakar melakukan perluasan wilayah
ke luar Jazirah Arab.
Daerah yang dituju adalah Irak
dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua
daerah itu menurut Abu Bakar harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan
keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk
ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan ke Suriah dipimpin
tiga panglima yaitu : Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan dan Surahbil bin
Hasanah.
2. Pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an
Sedangkan usaha yang ditempuh
untuk pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an adalah atas usul dari sahabat Umar bin
Khattab yang merasa khawatir kehilangan Al Qur'an setelah para sahabat yang
hafal Al Qur'an banyak yang gugur dalam peperangan, terutama waktu memerangi
para nabi palsu.
Alasan lain karena ayat-ayat Al
Qur'an banyak berserakan ada yang ditulis pada daun, kulit kayu, tulang dan
sebagainya. Hal ini dikhawatirkan mudah rusak dan hilang.[21]
Atas usul Umar bin Khattab
tersebut pada awalnya Abu Bakar agak berat melaksanakan tugas tersebut, karena
belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad SAW. Namun karena alasan Umar
yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an yang gugur di medan
pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya, akhirnya Abu Bakar
menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu
pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.[22]
3. Sebagai Kepala Negara dan Pemimpin
Umat Islam
Kemajuan yang diemban sebagai
kepala negara dan pemimpin umat Islam, Abu Bakar senantiasa meneladani perilaku
rasulullah SAW. Bahwa prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan seperti
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW selalu dipraktekkannya. Ia sangat
memperhatikan keadaan rakyatnya dan tidak segan-segan membantu mereka yang
kesulitan. Terhadap sesama sahabat juga sangat besar perhatiannya.[23]
Sahabat yang telah menduduki
jabatan pada masa Nabi Muhammad SAW tetap dibiarkan pada jabatannya, sedangkan
sahabat lain yang belum mendapatkan jabatan dalam pemerintahan juga diangkat
berdasarkan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki. Selain itu didirikan pula
lembaga peradilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khattab.
Persoalan
besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon
khalifah yang akan menggantikannya. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya
sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para sahabat, kemudian mengangkat Umar
sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebit
diterima masyarakat yang secara beramai-ramai membaiat Umar. Dengan demikian ia
telah mempersempit peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam
mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya Abu Bakar tidak
memilih anak atau kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang
secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah,
yaitu sahabat Umar bin Khattab.[24]
BAB III
PENUTUP
Pemerintahan
Abu Bakar punya jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna, mencakup
kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan. Kita sudah
melihat betapa tingginya kesadaran Abu Bakar terhadap prinsip-prinsip yang
berpedoman pada Al-Qur'an sehingga ia dapat memastikan untuk menanamkan pada
dirinya batas antara kebenaran untuk kebenaran dengan kebohongan untuk
kebenaran.
Prinsip-prinsip
dalam Islam, dilukiskan Abu Bakar dengan mendorong kaum Muslimin memerangi
orang-orang yang ingin menghancurkan Islam seperti halnya orang-orang murtad,
orang-orang yang enggan membayar zakat, dan orang-orang yang mengaku dirinya
sebagai nabi. Oleh karena itu Abu Bakar melaksanakan perang Riddah untuk
menyelamatkan Islam dari kehancuran.
Perjuangan
Abu Bakar tidak hanya sampai di situ, ia juga melakukan berbagai peperangan
demi kemajuan Islam. Bahkan ia tidak hanya mengorbankan jiwanya, hartanyapun ia
korbankan demi Islam. Sampai pada akhir menjelang wafatnya pun peperangan belum
terselesaikan, akan tetapi ia sempat memilih Umar bin Khatab sebagai penggantinya
dengan meminta persetujuan dari kalangan para sahabat.
[1]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hal,
393.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid
[5]
Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993, hal.25.
[6]
Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit.hal.396.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit.hal.397.
[8] Shaban, Op. Cit.hal. 25.
[10]
Ibid.
[11]
Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya, Jakarta: Bulan Bintang.
1977, hal.139.
[12]
Ibid.hal. 139-140.
[13]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993, hal.36.
[14]
Zainal Abidin Ahmad, Op. Cit.hal.
135.
[15]Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya,
seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan
dan lain-lainnya.
[16]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Indah Perss: Jakarta, 2004, hal. 103.
[17]
Moh Fachruddin Fuad, Op. Cit.hal. 36.
[18]
Ibid.
[19]
Shaban, Op. Cit.hal.34.
[20]Chatibul Umam, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam,
Kudus: Menara Kudus, 2003, hal. 140
[22]Ibid.
[24]
Badri Yatim, Op. Cit.hal.37.