Social Icons

Pages

July 31, 2012

Putusnya Pernikahan


PEMBAHASAN
PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AL-MUHARRAMAH
A.    Putusnya Perkawinan (Perceraian)
1.      Pengertian Putusnya Perkawinan (Perceraian).
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”.Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul).Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus.Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam membolehkan terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Tetapi perceraian tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.



2.      Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan (Perceraian).
a.      Talak.
1)      Hak Talak.
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi.
Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alasan lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara lain:
a)      Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b)      Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c)      Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d)     Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.
2)      Syarat-Syarat Menjatuhkan Talak.
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.

a)      Syarat-syarat seorang istri supaya sah ditalak suaminya.
Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah sebagai berikut :
1)      Berakal sehat.
2)      Telah baliqh.
3)      Tidak karena paksaan
Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga.Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu.
Misalnya orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak.Mengenai talak orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran.Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talak hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang dikatakannya hampir-hampir di luar kesadarannya.
b)      Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak.
Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah sebagai berikut :
1)      Isteri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
2)      Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.
c)      Syarat-syarat pada sighat talak.
Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”.Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ke orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
1)      Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
2)      Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepada isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”).
3)      Macam-Macam Talak.
a)      Talak raj’i
Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah.Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.
b)      Talak ba’in.
Talak ba’in ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil.Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah.Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-nikah.
Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami.Talak ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
2)      Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
3)      Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
4)      Talah habis masa ‘iddahnya.
c)      Talak sunni.
Talak sunni ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami adalah halal.

d)     Talak bid’i.
Talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul.Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang termasuk talak bid’i ialah:
1)      Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.
2)      Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.
3)      Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya untuk selama-lamanya.
b.      Khulu’.
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
Syarat sahnya khuluk ialah sebagai berikut :
1)      Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.
2)      Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.
c.       Syiqaq.
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
1)      Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
2)      Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
3)      Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
4)      Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
d.      Fasakh.
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan.Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:
1)      Suami sakit gila.
2)      Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
3)      Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.
4)      Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
5)      Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
6)      Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.
e.       Ta’lik talak.
Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.
Di Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:
1)      Meninggalkan isteri tersebut enam bulan berturut-turut.
2)      Tidak memberi nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan.
3)      Menyakiti badan/jasmani isteri.
4)      Membiarkan/tidak memperdulikan isteri selama enam bulan.
Talak satu yang dijatuhkan suami berdasarkan ta’lik, mengakibatkan hak talak suami tinggal dua kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.
Kalau kita perhatikan jatuhnya talak dengan ta’lik ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama disertai uang ‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talak yang dijatuhkan atas dasar ta’lik dianggap sebagai talak ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali dengan jalan melaksanakan akad-nikah baru.
f.       Ila’.
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
1)      Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
2)      Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
1)      Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2)      Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3)      Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka.
4)      Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah habis.
g.      Zhihar.
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
1)      Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
2)      Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.
3)      Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.
4)      Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
a)      Memerdekakan seorang budak, atau
b)      Puasa dua bulan berturut-turut, atau
c)      Memberi makan 60 orang miskin.
h.      Li’aan.
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta.Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
1)      Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
2)      Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
3)      Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
4)      Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.
i.        Kematian.
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
B.     Al-Muharramah
1.      Haram Selama-Lamanya.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain lelaki ini boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi empat kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan), mahram karena mula’anah (saling melaknat).


a.      Mahram Karena Nasab (Keturunan).
1)      Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
2)      Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
3)      Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
4)      Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
5)      Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
6)      Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
7)      Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)
b.      Mahram Karena Penyusuan.
Mahrram karena penyusuanjuga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23).
Dan hadits yang marfu’ (artinya): “Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas).
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233).
Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.

c.       Mahram Mushaharah (Kekeluargaan Karena Pernikahan).
Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1)      Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2)      Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3)      Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4)      Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri).Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati.
2.      Haram Sementara.
a.       Wanita yang haram dinikahi untuk sementara waktu saja ialah:  saudara perempuan istri hingga istrinya di cerai dahulu dan masa iddahnya habis, atau ia meninggal dunia.
b.      Kemudian bibi istri baik dari jalur bapaknya maupun dari jalur ibunya. Jadi ia tidak boleh dinikahinya. Jadi ia tidak boleh dinikahinya hingga istrinya dicerai dahulu dan masa iddahnya habis atau meninggal dunia. Hal itu berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw melarang seorang wanita dinikahi bersama-sama dengan bibinya, baik dari jalur bapaknya atau dari jalur ibunya.(Mutafaqun ‘Alaih).
c.       Wanita yang bersuami. Wanita tersebut haram dinikahi hingga ia dicerai suaminya atau menjanda dan masa iddahnya telah habis, berdasarkan firman Allh swt:
Artinya : Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami. ( An-Nisa’:24).
d.      Wanita yang sedang menjalani masa iddahnya karena perceraian atau suaminya meninggal dunia. Jadi wanita yang seperti itu haram dinikahi dan dilamar hingga masa iddahnya habis. Tetapi tidak ada salahnya menyindirnya, misalnya ia mengatakan kepadanya : “Aku tertarik padamu”. Berdasarkan firman Allah:
Artinya : “janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf . Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.”. (Al-Baqarah: 235).
e.       Wanita yang telah ditalaq tiga kali hingga ia menikah dengan suami lain dan berpisah dengannya karena perceraian atau suaminya meninggal dunia dan masa iddahnya habis. Hal itu berdasarkan firman Allah swt.
Artinya :“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah: 230).
f.       Wanita berzina hingga ia bertaubat dan diketahui benar-benar bertaubat dan selesai massa iddahnya.