Social Icons

Pages

March 8, 2013

Anak Zina Dan Inseminasi

BAB II
PEMBAHASAN
1.                  Anak zina
a.       Pengertian
Zina menurut Jurjani adalah memasukkan penis (zakr = bahasa Arab) kedalam vagina bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan). Dari pengertian ini bisa dipahami bahwa perbuatan zina jika ada dua unsure yaitu: a) ada persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya, b) tidak ada keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan seks.
Anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan tanpa pernikahan. Karena dilahirkan diluar pernikahan yang sah biasa juga disebut dengan anak haram. Anak zina menurut pandangan Islam adalah suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut tetapi kepada kedua orang tuanya yang tidak syah menurut hukum. Didalam surat an-Najm ayat 38 Allah telah berfirman:    
                “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Tanggung jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab, anak zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja. Demikian juga halnya dengan hak waris, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadits;

عن ابن عمر ان رجلا لاعن امرأته في زمن النبي ص م وانتفى من ولدها ففرق النبي بينهما الولد بالمرأة
“Dari Ibn Umar bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya dizaman Nabi Muhammad SAW dan dia tidak mengakui anak istrinya (sebagai anaknya), maka Nabi menceraikan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada istrinya” (HR Bukhari san Abu Dawud)

b.      Kedudukan Anak Zina
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab pada laki-laki yang melakukan zina terhadap ibunya. Ia mengikuti nasab kepada ibu yang melahirkannya, maka hal ini berakibat pula hilangnya kewajiban/tanggung jawab ayah kepada anak dan hilang hak anak kepada ayahnya. Antara keduanya adalah sebagai orang lain (ajnabiy). Secara nyata akibat yang diterima oleh anak adalah:
Ø  Hilangnya martabat muhrim dalam keluarga. Bila anak itu wanita maka antara bapak dengan anak itu dibolehkan menikah,
Ø  Hilangnya kewarisan anak dengan bapaknya. Hal ini dikarenakan anak zina tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan bapaknya.
Dalam hukum Islam anak tersebut tetap dianggap sebagai anak yang tidak sah dan berakibat; 1) tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya, 2) tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi dengan ibunya saja, 3) tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan karena dia lahir akibat hubunngan diluar nikah.
Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dengan tegas mengatakan bahwa zina itu termasuk tindak pidana, dengan alasan-alasan;
·         Zina dapat menghilangkan nasab (keturunan) dan dengan sendirinya menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya(tidak sah) meninggal dunia,
·         Zina dapat menularkan penyakit yang berbahaya bagi orang yang melakukannya sperti penyakit kelamin dan sebagainya,
·         Zina merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan,
·         Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat memutuskan hubungan keluarga.

Mengenai status anak zina ada tiga pendapat, yakni;
a)      Menurut Imam malik dan Syafi’I, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya,
b)      Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedangkan batas waktu hamil paling kurang enam bulan,
c)      Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangan waktu masa kehamilan si ibu.

2.                  Anak Hasil Inseminasi (Anak Tabung)
a.       Pengertian
Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi bukan secara ilmiah. Dalam bahasa  Arab diistilahkan dengan  التلقيح  dari kata kerja  لقَّح – يلقِّح  yang artinya mengawinkan atau mempertemukan. Inseminasi terbagi menjadi dua: a) Inseminasi alamiah yaitu pembuahan dengan cara hubungan badan antara dua jenis makhluk biologis, b) Inseminasi buatan yaitu penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laki-laki kedalam rahim wanita dengan pertolongan dokter. Istilah lain yang semakna adalah kawin suntik.
Sedangkan bayi tabung yaitu sel telur yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan dalam tempat pembiakkan (cawan) yang sudah siap untuk diletakkan ke dalam rahim seorang ibu.

b.      Hukum Inseminasi
Upaya inseminasi buatan dan bayi tabung dibolehkan dalam Islam manakala perpaduan sperma dan ovum itu bersumber dari suami-istri yang sah (Inseminasi Homolog) bisa juga disebut Artificial Insemination Husband (AIH). Dan yang dilarang adalah inseminasi buatan dan bayi tabung yang berasal dari perpaduan sperma dan ovum dari orang lain (Inseminasi Heterolog) bisa juga disebut Artificial Insemination Donor (AID).
Diantara Ulama yang membolehkan inseminasi adalah Mahmud Syaltut, bahwa bila penghamilan tersebut menggunakan air mani suaminya. Lebih lanjut beliau mengatakan …”dan tidak menimbulkkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dijadikan sebagai suatu cara untuk memperoleh anak yang syah menurut syari’at yang jelas ibu bapaknya. Alasan lain dibolehkan inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri karena berhubung ada kelainan perangkat dalam istri maupun suami.
Jadi prinsip dibolehkannya inseminasi itu bila keadaannya benar-benar memaksa pasangan itu untuk melakukannya dan bila tidak akan mengancam keutuhan rumah tangga (terjadi perceraian) sesuai dengan kaidah Ushul
الحاجة تنزل منزلة الضرورة
“Hajat itu (keperluan yang sangat penting) diberlakukan seperti keadaan darurat”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa ''Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.''
Sedangkan hasil inseminasi dengan bantuan donor sperma dan ovum maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya anak hasil inseminasi itu tidak syah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibunya yang melahirkan. Dalil yang dapat dijadikan landasan menetapkan haramnya inseminasi dengan donor ialah:
Pertama firman Allah surat al-Israa’ ayat 70
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan sehingga melebihi makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah sendiri berkenaan memuliakan manusia maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat martabat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedua, hadits Nabi yang mengatakan “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkkan tidak melakukan senggama sebelum kandungan lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi dengan donor sperma atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi bagi manusia harus berasal dari sperma atau ovum pasangan yang sah menurut syari’at adalah kaidah
درع المفسدة مقدم علي جلب المصلحة
            “Menghindari mafsadah atau mudharat harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah”.
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hokum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan hasil anak prostitusi atau zina. Kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan, terlihat bagaimana peranan agama cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berrkaitan dengan perkawinan. Dan lagi, Negara kita tidak menigzinkan inseminasi dengan donor sperma atau ovum karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

-          Dr. Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Gema Insani, Jakarta 2003.
-          M. Ali Hasan, Masail Fiqhiya al-Haditsiah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000.
-          Drs. H. Mahjuddin MPd, Masailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta 2005
-          Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo MA, Masail Fiqhiyyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, Angkasa Bandung, Bandung 2005.



No comments:

Post a Comment