Konsep kinayah sendiri salam sejarah perkembangan ilmu balagah
mengalami perubahan dan perkembangan. Perkembangan makna kinayah dalam sejarah
ilmu bahasa Arab menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Abu Ubaidah. Istilah kinayah dalam khazanah ilmu balaghah, diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Abu Ubaidah dalam kitabnya Majaz al-Qur’an. Menurutnya, kinayah dalam istilah ahli bahasa serta para ahli nahwu berarti “dhamir”.
3.
Al-Mubarrid.
Dalam kitabnya al-Kamil, ia mendefinisikan kinayah dengan tiga pengertian, a)
untuk menutupi makna yang sebenarnya, b) untuk mengagunngkan dan c) untuk
menghindari kata-kata yang kotor.
4.
Quddamah
bin Ja’far. Buku karangannya yang berjudul Naqd al-Syi’ri, ia mengungkapkan
bahwa kinayah itu bermakna irdaf, yaitu mencari kata-kata lain yang semakna
dengan kata-kata dimaksud.
5.
Abu Husain
ahmad bin Faris. Dalam kitabnya ash-Shahiby, ia menjelaskan bahwa dengan
melihat tujuannya, kinayah pada dasarnya mempunyai dua jenis, yaitu kinayah
taghtiyah dan tabjil. Kinayah jenis pertama digunakan dengan cara menyebut
sesuatu bukan dengan namanya, agar terlihat baik dan indah. Pengungkapan seperti
ini juga bertujuan untuk memuliakan sesuatu yang disebut. Sedangkan yang jenis
kedua bertujuan agar yang disebutkan terhindar dari kehinaan, seperti ungkapan ابو فلان .
6.
Abd al-qohir
al-Jurjani. Di dalam kitab I’jaz al-Qur’an, Abd al-qohir al-Jurjani mengatakan “kinayah
adalah seorang mutakallim yang bermaksud menetapkan satu dari beberapa makna
dengan tidak mengungkapkannya dengan ungkapan yang digunakan pada umumnya. Akan
tetapi dia mengungkapkannya dengan makna berikutnya atau ungkapan yang semakna
dengannya.”
Pengertian Abd al-qohir al-Jurjani tentang kinayah, terutama
mengenai konsep ridf (makna sepadan) hamper sama apa yang dikemukakan oleh
Quddamah bin Ja’far. Dia memasukkan kinayah ke dalam jenis I’tilaf al-lafzhi bi
al-makna. Quddamah menyebut juga dengan istilah irdaf. Sedangkan Abu Hilal al-‘Askari
menyebutnya dengan istilah irdaf dan tawabi.