Social Icons

Pages

March 2, 2014

Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah



Sejarah Kota Madinah
Muhammad al-Gazhali dalam fiqh al-sirah membandingkan antara Makkah dan Madinah. Makkah adalah kota yang mempunyai sejarah panjang, aman dan membawa berkah pada penghuninya. Hal tersebut terjadi karena didukung kultur merkantilisme yang dimiliki penduduknya serta Ka’bah yang merupakan symbol monoteisme.
Pada masa pra-Islam, kota ini dikenal dengan nama Yastrib. Menurut Abdussalam Hasyim Hafidz dalam al-Madinah fi al-Tarikh, nama Yastrib merujuk pada sebuah peristiwa bersejarah pada masa nabi Nuh. Dikisahkan, ketika Tuhan menurunkan azab melalui banjir, nabi Nuh bersama pengikutnya yang berada didalam perahu terdampar ditempat ini. Namun, mereka tidak tinggal lama di Yastrib karena memilih untuk tinggal di Juhfah.
Selanjutnya, kota ini menjadi tempat Dinasti Amalekit yang berpusat di Mesir. Sebagian dari Dinasti ini menempati Makkah dan Madinah. Namun, setelah Nabi Musa berhasil mengalahkan Fira’un, beliau dan pengikutnya mulai berdatangan ketempat ini. Sejak itulah, orang-orang Yahudi menempati kota ini untuk pertama kalinya. Jauh sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi sudah menjadi pribumi di Yastrib, khususnya kalangan Aws dan Khazraj yang merupakan kelompok mayoritas.
Sebelum Islam masuk ke kota Madinah dan jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, seorang Yahudi telah mencari-cari sesuatu tempat yang menurut perrhitungannya sebagai tempat yang cocok yang akan dipilih oleh nabi yang akan diturunkan Tuhan kelak.
Menurut perkiraan para ahli, kota ini telah dikenal sejak abad ke-6 SM. Sarjana Yunani Ptomely menyebut kota ini Lathrippa, sedangkan Stefanus dari Byzantium menyebutnya Jathripa, dan orang Yahudi yang terpengaruh  kebudayaan Aramia menyebutnya Medinta. Kata “Yastrib” berasal dari nama seorang keturunan Bani Ubail, yaitu Yastrib bin Qaniyah bin Mikhail bin Aram bin Ubail bin Ush bin Aram bin Nuh. Sosok ini juga diduga merupakan orang pertama yang datang ke daerah itu.
Masyarakat kota Yastrib (Madinah) terdiri dari kelompok Arab (suku Aws dan suku Khazraj) dan kelompok non-Arab (Bani Qainuqa, Bani Quraizah, dan Bani Nadzir). Antara suku Aws dan suku Khazraj sering terjadi peperangan, begitu juga Bani Qainuqa, Bani Quraizah, dan Bani Nadzir, ketiganya saling bermusuhan bahkan antara lima suku tersebut juga saling bermusuhan.
Letak kota Yastrib sangat strategis, yaitu dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Yaman di selatan dan Syria di utara. Tempat ini juga merupakan daerah yang subur dan menjadi pusat pertanian di jazirah Arab. Oleh sebab itu, masyarakatnya banyak yang bercocok tanam. Walaupun demikian, ada juga kelompok masyarakat yang berdagang dan berternak. Kota ini dibentengi oleh pegunungan batu yang terjal. Bentuk kota seperti ini merupakan bentang pertahanan yang sangat bagus secara alamiah karena musuh sulit masuk ke kota ini.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Yatsrib menganut agama Yahudi dan Nasrani. Selain itu, sebagian masyarakat Yatsrib menganut agama Pagan, yaitu kepercayaan kepada benda dan kekuatan alam, seperti matahari, bulan dan bintang. Para penganut agama ini berkeyakinan bahwa mereka adalah manusia pilihan dan agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Keadaan ini memicu perselisihan antara agama yang berlangsung cukup lama sampai masuknya Islam di kota ini.

Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
Kaum kafir Quraisy tidak senang melihat Islam makin berkembang. Mereka terus menerus memusuhi umat Islam dengan cara mengancam, menyiksa dan menghina. Melihat keadaan itu, Nabi Muhammad SAW berpendapat bahwa Makkah tidak dapat lagi diandalkan sebagai pusat dakwah Islam. Selanjutnya, Nabi perlu mencari tempat lain sebagai pusat dakwah Islam.
Meskipun agama Islam belum datang dan Nabi Muhammad SAW belum diutus menjadi Rasul tetapi orang-orang Jazirah Arab telah terbiasa datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah. Begitu juga bagi penduduk Yastrib, maka pada suatu musim haji 6 orang dari Yastrib datang menuanikan haji ke Makkah, Nabi menemui mereka dan menceritakan penderitaan kaum muslim yang disiksa kaum Quraisy juga memberitahukan kepada mereka tentang agama Islam.
Berita adanya seorang nabi yang membawa agama Islam segera tersebar di kota Yastrib setelah kepulangan 6 orang tersebut. Sebagian orang Yahudi bersuka cita menyambut berita itu. Mereka sedang menanti kedatangan nabi terakhir seperti yang diberitahukan dalam kitab suci mereka.
Pada tahun ke-12 kenabian (624/621M) Nabi Muhammad menemui rombongan haji dari Yastrib yang berjumlah 12 orang. Pertemuan itu terjadi dibukit Aqobah di kota Makkah. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang disebut Perjanjian Aqobah yang berisi perrnyataan 12 orang tersebut bahwa mereka akan setia kepada Nabi Muhammad SAW, rela berkorban harta dan jiwa, tidak menyekutukan Allah SWT, tidak membunuh dan berdusta serta bersedia membantu menyebarkan ajaran Islam.
Pada tahun ke-13 kenabian (622 M) sebanyak 73 jama’ah asal Yastrib datang ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka membawa berita bahwa orang-orang Yastrib memohon agar Nabi Muhammad SAW bersedia memberi penerangan tentang agama Islam. Kemudian, mereka menyepakati perjanjian Aqabah kedua untuk menjamin keselamatan dan kelanjutan dakwah Nabi Muhammad SAW. Dengan penuh pertimbangan dan didukung berbagai factor, diantaranya Yastrib adalah tempat terdekat, penduduk Yastrib dikenal memiliki kelembutan budi pekerti dan sifat yang baik, neneknya berasal dari Yastrib dan ayahnya dimakamkan di Yastrib, maka Nabi memutuskan hijrah ke Yastrib.
Pada suatu malam Nabi keluar rumah menemui Abu Bakar untuk diajak melakukan hijrah ke Madinah, sedangkan rumah Nabi sudah dikepung orang kafir Quraisy yang berniat membunuh Nabi. Maka diaturlah siasat, yakni Ali ibn Abu Thalib diperintahkan tidur ditempat tidur Nabi dengan memakai mantel Nabi yang hijau dari Hadramaut. Di tengah perjalanan, mereka singgah untuk bersembunyi di gua Thur untuk menghindarkan dari kejaran orang-orang kafir Quraisy. Setelah 3 hari di gua Thur, perjalanan dilanjutkan. Dalam perjalanan ke Madinah, Nabi singgah di Quba dan membangun masjid yang disebut masjid Quba.
Pelaksanaan hijrah Nabi tersebut didorong oleh beberapa factor. Pertama, atas perintah wahyu. Kedua, disamping dakwah beliau di Makkah kurang berhasil, beliau ingin menyelamatkan pengikutnya terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum kafir Quraisy yang semakin keras dan kejam (suatu kebijakan yang mencerminkan sikap dan tindakan seorang pemimpin). Ketiga, beliau yakin bahwa para pengikutnya di Yastrib akan memberikan perlindungan kepada saudara-saudara seagama di Makkah.
Pelaksanaan hijrah tersebut, oleh Arnold dinilai sebagai “suatu gerakan strategi yang jitu”. Suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslimin supaya terbebas dari tindakan yang tidak manusiawi dari kaum Quraisy dan suatu gerakan dakwah menuju babakan baru.

Dakwah Nabi Di Madinah
Sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat selalu berdakwah kepada penduduk Madinah tanpa mengenal lelah dan putus asa. Mereka terus berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh penduduk termasuk orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum Pagan. Mayoritas penduduk Madinah, terutama suku Awz dan suku Khazraj menyambut baik ajakan Nabi Muhammad SAW, menyatakan kesetiaannya kepada Nabi dan bersedia membantu beliau menyebarkan ajaran Islam. Hal yang pertama dilakukan Nabi dalam dakwahnya di Madinah adalah dengan membangun masjid, yang terkenal dengan Masjid Nabawi.
Berdirinya Masjid Nabawi ini merupakan tonggak berdirinya masyarakat Islam. Umat Islam tidak takut lagi untuk melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Masjid Nabawi menjadi ramai karena terus didatangi oleh para jama’ah yang akan melaksanakan shalat berjama’ah bersama Nabi.
Nabi Muhammad SAW beserta umat Islam juga membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan lembah yang satu dengan lembah lainnya. Pesatnya pembangunan di kota Madinah menyebabkan adanya migrasi dari tempat lain. Masyarakat yang berada disekitar wilayah Madinah berdatangan dengan tujuan berdagang atau tujuan lain. Keadaan ini menyebabkan Madinah menjadi kota terbesar di Jazirah Arab.
Pada tahun pertama di Yastrib, Nabi Muhammad membuat langkah awal mengurangi semangat ‘ashabiyyah qabaliyyah melalui penetapan hubungan persaudaraan (muakkhah) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Maka Nabi Muhammad menyatakan Ali ibn Abi Thalib sebagai saudaranya sendiri, meskipun sebenarnya saudara sepupu dekat. Kemudian Hamzah ibn Abdul Mutthalib, pamannya, dipersaudarakan dengan Zaid ibn Haritsah, bekas budaknya, Umar ibn Khattab dengan Itban ibn Malik al-Khazraji dan Abdurrahman ibn Auf dengan Saad ibn al-Rabi. Hubungan persaudaraan itu dinyatakan seperti persaudaraan sedarah senasib yang boleh saling waris mewarisi, meskipun kemudian dihapus melalui penetapan hokum waris yang lebih baru. Selain itu, kekuatan kaum Muslim yang baru terbentuk dan kemudian disebut ummah wahidah.

System Politik Nabi Muhammad di Madinah
Sebagaimana telah disebutkan diawal pembahasan, bahwa Madinah (Yastrib) sebelum kedatangan Nabi Muhammad, masyarakat kota Madinah (Yastrib) adalah dari berbagai suku dan agama, dan sering terjadi peperangan diantara masing-masing suku tersebut. Terlebih pada dua suku utama yakni suku Awz dan Khazraj. Musthafa Kamil Washfi dan Ali Husni al-Khurbuthuli mencatat ada 12 kali peperangan yang terjadi antara suku Awz dan Khazraj, yang kemudian berbagai suku di atas dikenal dengan kaum Anshor (penolong).
Hijrahnya Nabi ke Madinah merupakan era baru dalam usaha dakwah Islam, karena dikota ini beliau telah memdapat dukungan kuat dari warganya. Namun, dukungan tersebut belum membuat posisi nabi benar-benar mantap. Karena, penduduk Madinah menurut pembagian geneologi maupun etnis dan keyakinan terbagi kedalam beberapa kelompok social yang saling berbeda cara fikir dan kepentingan. Untuk itu, beliau membuat perjanjian tertulis yang dapat diterima oleh semua kelompok social yang bercorak majemuk itu.
Dalam kaitan ini al-Waqidi menulis bahwa ketika Nabi datang ke Madinah semua orang Yahudi membuat perjanjian damai dengan beliau di mana mereka tidak akan mendukung musuh yang menentang beliau. Yang kemudian dikenal dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Masyarakat di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAWdi Madinah itu bisa disebut sebagai Negara dan beliau sebagai kepala negaranya, sedangkan undang-undangnya adalah sebagian perjanjian (Piagam Madinah) tersebut. Menurut para ahli, ada berbagai nama perjanjian itu. Dari kesimpulan dari para ahli bahwa disebut “perjanjian” karena Nabi membuat perjanjian persahabatan antara Muhajiri dan Anshar sebagai komunitas Islam disatu pihak dan antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka dipihak lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari persahabatan.
Mengacu pada piagam Madinah, Nabi Muhammad melakukan konsolidasi ke dalam dan menghimpun kekuatan masyarakat Madinah sebagai langkah membendung hegemoni dan tekanan dari Makkah. Selama delapan bulan di Madinah, Nabi Muhammad SAW mempersiapkan sejumlah ekspedisi militer skala kecil untuk mencegat kafilah dagang Quraisy. Satuan-satuan bersenjata yang dikirim kebeberapa tempat masih ditulangpunggungi oleh kaum Muhajirin kabilah Quraisy dan belum melibatkan kabilah-kabilah Anshar, hingga menjelang perang Badar.
Menjelang perang Badar, barulah pasukan bersenjata berkekuatan 305 orang yang bergerak ke luar Madinah dan dipimpin sendiri oleh Nabi Muhammad SAW terdiri atas tiga komponen, yaitu kaum Muhajiri Quraisy sebanyak 83 orang, kabilah al-Awz menyertakan 61 orang dan kabilah al-Khazraj menyumbang 161 orang. Komposisi keterwakilan kabilah seperti ini adalah kelaziman bagi suatu koalisi besar antarkabilah di kalangan orang Arab yang terus dipertahankan dalam pembentukan milisi bersenjata kaum Muslim di Madinah.
Setelah peristiwa perang Badar, konsolidasi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW berlangsung melalui serangkaian perang. Peperangan paling menentukan antara lain terjadi pada perang Uhud, Perang Ahzab (Khandaq), Penaklukan Makkah (Fath al-Makkah), hingga Perang Tabuk sebagai operasi perang terakhir yang terjadi semasa hidup Nabi Muhammad SAW. Melalui serangkaian peperangan ini, hirarki masyarakat Madinah antara Muslim dan non-Muslim, yang dalam Piagam Madinah belum begitu jelas, mulai diperteguh. Hanya kaum Muslim yang boleh bergabung dalam milisi bersenjata Madinah melawan kekuatan luar yang ingin mengganggu kaum Muslim dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, sementara non-Muslim diharuskan membayar pajak kepala (jizyah) sebagai pengganti kewajiban mereka memanggul senjata.
Setelah puncak Tahun Delegasi berlalu, Madinah menjelma menjadi pusat chiefdom baru yang menjangkau hamper semua kabilah Arab di semenanjung Arabia yang luas dan dengan begitu sempurnalah posisi politik Nabi Muhammad SAW sebagai panglima tertinggi masyarakat Arab lintas kabilah.




Sumber:
Ahmad Taqiyudin, Antara Makkah & Madinah, PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta 2009
Sejarah Kebudayaan Islam, Kelas VII semester Gasal, Pustaka Furqon,
Modul Pembelajaran Sejarah Kebudayan Islam, Kelas VII MTs semester 1, Arafah Mitra Utama.
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah (Salah Paham Negara Islam), Pustaka Alvabet, Jakarta 2011



No comments:

Post a Comment