Social Icons

Pages

February 27, 2014

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Penbandingan Agama



BAB II
PEMBAHASAN
Sejak timbulnya agama-agama didunia, maka ahli-ahli pikir telah telah menilai agama mereka masing masing dalam hubunganya dengan agama-agama lain. Banyaklah sudah teori dikemukakan orang untuk menghubungkan satu agama dengan yang lainnya, teori tentang kodrat agama, hokum-hukum yang mengenai pertumbuhan agama dan interpretasi tentang asl-usul agama. Dr.Lehman dari universitas lund memberikan ringkasan yang sangat baik tentang sejarah pertumbuhan ilmu agama ini.
Secara garis besar sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian dunia Barat dan dunia Timur.
A.    Dunia Barat
1.      Zaman Yunani dan Romawi
Herodotus (484-425 SM) adalah seorang sejarawan berkebangsaan Yunani, ia bisa dikatakan orang pertama yang menganggap pentingnya memperhatikan masalah agama-agama orang lain yang bukan bangsa Yunani.
Herodotus secara mengejutkan telah mencatat dengan cukup akurat deskripsi mengenai berbagai agama barbar dengan agama eksotik lain (Mesir, Persia, Trasia, Sintia dan lain-lain), bahkan mengemukakan hipotesis mengenai asal mula agama-agama tersebut dan hubungan mereka dengan kultus dan mitologi Yunani. Para penulis pra-Socrates mencoba mengkaji hakikat dewa-dewa dan nilai mitos-mitos, dan mulai mengajukan berbagai kritik rasional terhadap agama.
Herodotus tidak merumuskan suatu teori tentang perbandingan agama, tetapi dia mengusulkan suatu teori yang disebut teori perkembangan tarikh tiga taraf. Taraf pertama pertama manusia, taraf kedua taraf pahlawan dan taraf ketiga taraf dewa-dewa. Namun demikian di dalam teorinya itu dia tidak memberikan perincian, juga tidak pernah berspekulasi tentang asal-usul dewa-dewa ataupun asal-usul agama pada umumnya.
Karya tulis Herodotus meskipun lebih banyak menunjukkan catatan data daripada menerangkan data, tetapi dia telah memberikan suatu sumbangan besar bagi studi agama selanjutnya. Dia telah membina prinsip “persamaan dewa-dewa” yang kemudian terkenal sebagai Interaretatio Romana. Di dalam prinsip ini Herodotus sambil mempergunakan apa yang sekarang disebut metode perbandingan telah menunjukkan betapa para dewa yang terdapat di dalam system keagamaan dengan berbagai nama serta sifat yang berbeda-beda itu sebetulnya memiliki funngsi yang sama. Dengan dipertemukannya persamaan-persamaan ini dia menetapkan bahwa para dewa semacam itu dipersamakan. Oleh karena itu di dalam bukunya jilid II dewa Bapatis di kalangan orang Mesir sama seperti dewa Artunis di kalangan orang Yunani, Heros sama dengan Apollo dan Orisis sama dengan Dicnysus.
Bagi Parmenides (lahir 520 SM) dan Empedokles (495-435) misalnya, dewa-dewa itu tidak lain hanyalah personifikasi dari berbagai kekuatan alam. Plato (429-347 SM) seringkali membandingkan agama-agama Barbar. Sedangkan Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama kali secara sistematis merumuskan kemerosotan agama-agama manusia sebuah pemikiran yang seringkali dihidupkan kembali di waktu-waktu kemudian.
Theoprastus (372-287 SM) yang menggantikan Aristoteles sebagai pemimpin Licium, barangkali dapat dianggap sebagai sejarahwan agama pertama dari Yunani, menurut Diogenes Leartius (V, 48), Theoprastus telah menulis buku tentang agama-agama tidak kurang dari enam buku.
Pada zaman pemerintahan Iskandar Agung, Berossus, seorang pendeta Bel dari Chaldea telah menerbitkan buku berjudul Babylonika. Sebagai seorang sejarawan dia tidak menolak pertimbangan-pertimbangan teoretis. Ia telah mengumpulkan mite-mite bangsa Assiria serta menguraikan praktek-praktek keagamaan bangsa Assiria yang kemungkinan besar dasar-dasar informasinya berasal dari inskripsi-inskripsi ataupun dokumen-dokumen asli lainnya.
Antara tahun 302 dan 297 SM, Megasthenes  diutus sebagai duta besar untuk kerajaan Chandragupta olehe Selenous Nicator telah menerbitkan buku Indica. Hecatasus dari Abdera (365-275 SM) telah menulis Aegypta yang merupakan sumbangan bagi teologi agama orang Mesir. Manetho (abad 3 SM) seorang pendeta Mesir telah menggarap masalah teologi agama Mesir dengan judul yang sama, Aegyptica. Sehingga dengan demikian orang-orang di Iskandariyah telah menjadi paham betul masalah mite, ritus serta kebiasaan agama mereka.
Di Athena, pada awal abad ke-3, Epikurus (340-270 SM) melakukan kritik radikal terhadap agama. Dalam pandangannya, “consensus universal” menunjukkan atau membuktikan bahwa para dewa memang benar-benar ada, namun ia menganggap dewa-dewa itu sebagai wujud yang maha tinggi, jauh terpisah dan tidak memiliki sambung-hubung apapun dengan manusia. Pendapatnya ini kemudian menjadi sangat popular di dunia Latin di abad terakhir Sebelum Masehi di bawah pengaruh Lucretius (98-53 SM).
Namun, golongan Stoic-lah yang sangat mempengaruhi keseluruhan zaman kuno dengan jalan memperkembangkan metode interpretasi alegoris yang memungkinkan mereka bisa memelihara (mempertahankan) dan dalam waktu yang bersamaan menilai kembali peninggalan-peninggalan mitologis. Menurut golongan Stoic baik dari sudut pandangan filosofis ataupun dari sudut pandangan ajaran etika, mite itu muncul atas dasar tabiat daripada benda-benda. Banyak nama-nama dari dewa-dewa menunjuk kepada satu-satunya Tuhan Esa dan semua agama itu mengutarakan kepercayaan fundamental yang sama, hanya berbeda dalam terminology. Metode alegoris Stoic membuat kemungkinan untuk menterjemahkan setiap tradisi kunci kuno dan tradisi-tradisi yang aneh-aneh di dalam suatu bahasa yang universal dan bahasa yang dengan mudah dapat dipahami.
Dikalangan para eklektis roma, Cicero (106-43 SM) dan Varro (116-27 SM) perlu disebutkan secara khusus karena nilai historis keagamaan dari karya-karya mereka. Dalam karyanya On The Nature Of The Gods (Tentang Hakikat Para Dewa), Cicero memberikan suatu deskripsi yang cukup akurat tentang keadaan ritus-ritus dan kenyakinan-kenyakinan yang ada pada abad terakhir zaman pagan.
Cicero menunjukkan kesan yang jelas funngsi agama itu sebagai suatu disipilner, ajaran etika dan daya kekuatan yang bersifat integratif. Di dalam buku On Divination, Cicero  telah mengkritik dan bahkan mencemooh praktek-praktek ke-Tuhanan Romawi, padahal ia sendiri sebagai seorang juru ramal resmi. Ia dikenal sebagai orang yang mencaci maki dan tidak mengamalkan praktek-praktek keagamaan pada zamannya. Hal inilah yang menyebabkan ia memisahkann masalah ke-Tuhanan dari masalah lembaga-lembaga keagamaan serta praktek-praktek keagamaan lainnya.
Selama dua abad pertama era Masehi, seorang penganut euhemers bernama Herennius Philon menulis buku Phoenician History dan Pseudo Apolodorus menulis Library, sebuah karya tentang mitologi. Neo Phitagoreanisme dan Neo-Paltonisme mulai juga ikut serta membangkitkan interpretasi spiritual terhadap mitos-mitos dan ritus-ritus. Contoh dalam tipikal dari madzhab penafsiran ini adalah Plutrach (45/50-125), khususnya dalam karyanya On Isis And Osiris (Tentang Isis Dan Osiris). Dalam pandangannya, keregaman berbagai bentuk agama hanyalah penampakan luar semata, symbol-simbol menunjukkan adanya kesatuan fundamental agama-agama.
Sedangkan pandangan orang-orang Stoa kembali lagi dihidupkan oleh Seneca (2-66): berbagai dewa-dewa adalah beragam aspek dari Tuhan yang satu. Sementara itu, deskripsi tentang agama-agama asing dan kultus-kultus esoteric semakin bertambah banyak. Julius Caesar (104-44 SM) dan Tacitus (55-120) memberikan informasi yang sangat berharga mengenai agama-agama orang gaul dan orang-orang Jerman.
Selanjutnya penulis-penulis Kristen apologist, diantaranya adalah Aristides dalam tulisannya ia mencoba menginterpretasikan tentang agama kafir, Yahudi dan Kristen. Clemant dari Alexandria, menulis tentang agama Budha. Roger Bacon (1214-1249) menulis tentang agama-agama kafir dan Islam. Selanjutnya Marco Polo yang menjelajah Asia Tengah pada tahun 1275 dan menghabiskan kurang lebih 17 tahun masa pengembaraannya telah banyak menambah wawasan tentang agama-agama Timur di Eropa pada waktu itu.
Ketertarikan kepada agama-agama asing juga telah bangkit di Barat selama Abad Pertengahan dengan kehadiran Islam yang mengancam. Tahun 1141 Peter the Venerable telah memiliki al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Robert de Retine. Saat itu Islam telah memiliki karya-karya penting dalam kajian agama Pagan. Al-Biruni (973-1048) telah memberikan uraian yang cukup berharga mengenai agama.
Namun terutama adalah Ibnu Rusyd yang setelah secara mendasar mempengaruhi pemikiran Islam, juga ditakdirkan untuk memberikan rangsangan pertama bagi trend intelektual di negeri Barat. Dalam menafsirkan agama, Ibnu Rusyd menggunakan metode simbolik dan alegorik. Ia menyimpulkan bahwa semua agama-agama monoteis adalah benar, namun ia mengambil pendapat Aristoteles bahwa dalam dunia abadi, agama-agama muncul dan lenyap silih berganti.

2.      Zaman Pencerahan
Pada zaman pencerahan telah mulai dijumpai penyelidikan-penyelidikan agama pagan terutama disebabkan karena cara innterpretasi Neo Paltonisme yang bersifat alegoris.
Marcilio Fecino (1433-1499) telah menyusun suatu karya berjudul Platenio Teology, ia menganggap dari ajaran Plotinus yang paling akhir itu menunjukkan bahwa Plotinus itu adalah merupakan penerjemah ajaran Plato yang paling berwenang. Para humanis berkeyakinan bahwa terhadap seluruh agama terdapat suatu kebiasaan tradisional, bahwa untuk mendapatkan selamat cukup mengetahui tradisi tadi.
Pada tahun 1520 telah muncul buku yang pertama tentang sejarah agama secara umum yang berjudul The Costums, Laws and Rites of all People karya Jean Boem dari ordo Teutonik. Buku ini berisi kepercayaan orang-orang Eropa, Asia dan Afrika.
Kemudian diikuti oleh Letters dan Relations yang diterbitkan oleh misionaris ke Amerika dan Cina. Sebuah usaha awal untuk memperbandingkan agama-agama Dunia Baru dengan agama zaman antic telah dilakukan oleh misionaris J.F. Lafitau dalam karyanya Customs of the American Savages compared to the Customs of the Earlier Ages, diterbitkan di Paris tahun 1724.
Tokoh yang merupakan mata rantai yang menghubungkan antara zaman pertengahan dan Renaissance adalah Giovani Boccaccio (1313-1375) dengan karyanya yang berjudul Genelogy of the Gods. Buku ini merupakan suatu usaha untuk mensistematiskan keseluruhan mitologi klasik yang dikenal pada zamannya. Setelah itu bermunculan compendium-compendium baru yang sering-sering secara luas mencakup dewa-dewa dari daerah-daerah Timur, dewa-dewa Celtio, Germanie dan dewa-dewa suku terasing lainnya.
Lord Hebert dari Cherbury (1583-1648) adalah merupakan salah seorang tokoh penting sebagai pengkritik agama pada zamannya. Lord Hebert adalah salah seorang rasionalis yang mula-mula menyatakan secara sistematis bentuk-bentuk prinsip dewa dalam agama. Yang menjadi dasar teorinya adalah hubungan ide “insting alam” dengan “pengertian umum”. Agama itu seharusnya memiliki pengertian umum, oleh karena itu dijumpai pada segala bangsa dan didalam segala periode.

3.      Zaman Modern
Nama Ilmu Perbandingan Agama itu sebenarnya baru muncul pada bagian akhir pertengahan abad ke 19 pada waktu F. Max Muller (1823-1900) seorang penulis Jerman menulis dengan tegas nama Religion Wissenchaft didalam karyanya Chips from a German Workshop yang terbit tahun 1867. Dengan Ilmu Perbandingan Agama ini Max Muller bermaksud ingin menekankan bahwa ilmu baru ini terlepas dari filsafat agama dan terutama terlepas dari ilmu teologis.
Namun menjelang akhir abad 19 ketenaran teori Max Muller ini mulai pudar. Teori itu ditentnag oleh para ahli sezamannya, terutama dari W. Maunhardt (1831-1880) dan Andrew Lang (1844-1912).
Max Muller menemukan asal-usul mitos dalam fenomena alami, dan menjelaskan kelahiran para dewa-dewa sebagai sebuah “penyakit bahasa” yang pada awalnya ahanyalah sebuah nama (nomen) menjadi sebuah keilahian (numen).
W. Maunhardt dalam karya utamanya, Cults of Forest and Field, menunjukkan nilai penting dari “mitologi rendah” yang masih rendah dalam kultus dan ritus kaum petani yang dalam pandangan W. Maunhardt keyakinan-keyakinan ini lebih menggambarkan tahap lebih awal dari agama ketimabng mitologi-mitologi natural sebagaimana yang dikaji Max Muller.
Tahun 1871 muncul karya E.B Tylor, Primitive Culture, yang merupakan pencipta epos dimana ia memunculkan suatu trend baru, yaitu tentang animism. Menurut teori animistisnya Tylor, manusia primitive meyakini bahwa segala sesuatu ia  memiliki jiwa dan bahwa keyakinan yang fundamental dan universal ini tidak hanya dapat menjelaskan kultus terhadap orang-orang mati dan nenek moyang, namun juga kemunculan dewa-dewa.
Gerakan lain pada akhir abad 19 adalah yang oleh dilakukan Emile Durkheim (1858-1917), yang meyakini bahwa ia telah menemukan penjelasan sosiologis bagi agama totemisme (dikalangan orang Indian Owijiba di Amerika Utara totem menunjuk kepada bintang yang namanya dijadikan nama suku/klan dan dianggap sebagai nenek moyang mereka).
Namun pada penyelidikan selanjutnya, terutama dalam karya agungnya, J.G. Frazer (1854-1941) menunjukkan bahwa totemisme itu tidak menyebar secara universal dan bahwa totemisme itu tidak bisa dipandang sebagai bentuk agama mula-mula.
Sarjana lain yang sezaman dengan Durkheim adalah seorang filosof Perancis bernama Lucian Levy-Bruhl (1857-1939). Yang menyatakan bahwa orang-orang primitive itu memiliki mentalitas yang berbeda baik dalam derajat maupun dalam kualitas yang disebut prologic. Menurut Levy, ciri masyarakat sivilisasi adalah mencari penjelasan ilmiah terhadap fenomena alam. Sedangkan primitive tidak menuntut penjelasan sebab akibat hokum alam.
Menurut Levy-Bruhl bentuk pemikiran prologic manusia dulu itu dengan jelas sekali diperlihatkan dengan melalui kepercayaan magico-religious. Terhadap segala yang ada itu ditanggapi secara mistis. Demikian pula dalam masalah keagamaan terdapat suatu suasana pertisipasi bersifat mistik baik antara manusia dengan manusia maupun antara manusia dengan totem.
B.     Dunia Timur
Cukup menarik bahwa di dunia Islam karangan atau tulisan tentang perbandingan agama terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu bumi dan sejarah. Misalnya tulisan agama-agama lain terdapat di dalam Kitab ad-Din wad-Dawlah karangan Ali ibn Sahl Rabban at-Thabari. Namun harus diakui bahwa beberapa tulisan tersebut bersifat apologis.
Selanjutnya pada abad ke-11 tampillah Ibn Hazm (994-1064), salah seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan dengan agama lain ialah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.
Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab al-Milal wan-Nihal (1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.
Namun haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya  al-Ajwibah al-Fakhirahan al-As’ilah al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis buku al-Islam wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain Hirrawi, Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb. Di sini perlulah disebut karangan  apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam, karangan Ameer Ali.
Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Kitab-kitab yang membahas tentang agama lain banyak yang tidak orisinil sumbernya. Sedikit yang orisinil dan itupun hanya mengenai agama Kristen.

BAB III
Kesimpulan
Para ahli fikir telah menyelidiki agama yang sudah mereka anut dalam hubunganya dengan agama yang lain. Pada masa awal penyelidikanya ini mereka menggunakan pendekatan dari wahyu dan mitos-mitis dari suatu agama tertentu.
Kemudian pada saat munculnya zaman rasionalisme,ilmu perbandingan agama berubah dengan tidak lagi menggunakan pendekatan mitios lagi tetapi pendeekatanya melalui kebudayaan dan bahasa,kemudian setelah perang dunia pertama meletus tejadi lagi pergeseran perkembangan ilmu perbandingan agama yang pada mulanya menggunakan pendekatan budaya beralih menggunakan pendekatan filsafat dan teologi.
Perkembangan ilmu perkembangan agama juga ada dalam dunia Islam,pada awalnya berkembang cukup bagus karena dalam penyelidikanya,para ahli Islam tidak pilih kasih atau menyalahkan ajaran agama yang lain,tapi pada perkembangan selanjutnya karena ada serangan dari orang-orang barat tentang Islam maka perkembangan ilmu ini berubah berdasarkan apologi(berdasarkan agama yang diyakini).


Daftar Pustaka
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida kompleks IAIN Yogya,
Jirhanuddin, Perbandingan Agama (Pengantar Studi Memahami Agama-Agama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2010, hal 24.
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000,
Zakiah Daradjat dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara, Jakarta 1996,


No comments:

Post a Comment