BAB II
PEMBAHASAN
Sejak
timbulnya agama-agama didunia, maka ahli-ahli pikir telah telah menilai agama
mereka masing masing dalam hubunganya dengan agama-agama lain. Banyaklah sudah
teori dikemukakan orang untuk menghubungkan satu agama dengan yang lainnya,
teori tentang kodrat agama, hokum-hukum yang mengenai pertumbuhan agama dan
interpretasi tentang asl-usul agama. Dr.Lehman dari universitas lund memberikan
ringkasan yang sangat baik tentang sejarah pertumbuhan ilmu agama ini.
Secara garis
besar sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama dibagi menjadi dua bagian,
yakni bagian dunia Barat dan dunia Timur.
A.
Dunia
Barat
1.
Zaman
Yunani dan Romawi
Herodotus
(484-425 SM) adalah seorang sejarawan berkebangsaan Yunani, ia bisa dikatakan orang
pertama yang menganggap pentingnya memperhatikan masalah agama-agama orang lain
yang bukan bangsa Yunani.
Herodotus
secara mengejutkan telah mencatat dengan cukup akurat deskripsi mengenai
berbagai agama barbar dengan agama eksotik lain (Mesir, Persia, Trasia, Sintia
dan lain-lain), bahkan mengemukakan hipotesis mengenai asal mula agama-agama
tersebut dan hubungan mereka dengan kultus dan mitologi Yunani. Para penulis
pra-Socrates mencoba mengkaji hakikat dewa-dewa dan nilai mitos-mitos, dan
mulai mengajukan berbagai kritik rasional terhadap agama.
Herodotus tidak
merumuskan suatu teori tentang perbandingan agama, tetapi dia mengusulkan suatu
teori yang disebut teori perkembangan tarikh tiga taraf. Taraf pertama pertama
manusia, taraf kedua taraf pahlawan dan taraf ketiga taraf dewa-dewa. Namun
demikian di dalam teorinya itu dia tidak memberikan perincian, juga tidak
pernah berspekulasi tentang asal-usul dewa-dewa ataupun asal-usul agama pada
umumnya.
Karya tulis
Herodotus meskipun lebih banyak menunjukkan catatan data daripada menerangkan
data, tetapi dia telah memberikan suatu sumbangan besar bagi studi agama
selanjutnya. Dia telah membina prinsip “persamaan dewa-dewa” yang kemudian
terkenal sebagai Interaretatio Romana. Di dalam prinsip ini Herodotus
sambil mempergunakan apa yang sekarang disebut metode perbandingan telah
menunjukkan betapa para dewa yang terdapat di dalam system keagamaan dengan
berbagai nama serta sifat yang berbeda-beda itu sebetulnya memiliki funngsi
yang sama. Dengan dipertemukannya persamaan-persamaan ini dia menetapkan bahwa
para dewa semacam itu dipersamakan. Oleh karena itu di dalam bukunya jilid II
dewa Bapatis di kalangan orang Mesir sama seperti dewa Artunis di kalangan
orang Yunani, Heros sama dengan Apollo dan Orisis sama dengan Dicnysus.
Bagi Parmenides
(lahir 520 SM) dan Empedokles (495-435) misalnya, dewa-dewa itu tidak lain
hanyalah personifikasi dari berbagai kekuatan alam. Plato (429-347 SM)
seringkali membandingkan agama-agama Barbar. Sedangkan Aristoteles (384-322 SM)
adalah orang pertama kali secara sistematis merumuskan kemerosotan agama-agama
manusia sebuah pemikiran yang seringkali dihidupkan kembali di waktu-waktu
kemudian.
Theoprastus
(372-287 SM) yang menggantikan Aristoteles sebagai pemimpin Licium, barangkali
dapat dianggap sebagai sejarahwan agama pertama dari Yunani, menurut Diogenes
Leartius (V, 48), Theoprastus telah menulis buku tentang agama-agama tidak
kurang dari enam buku.
Pada zaman
pemerintahan Iskandar Agung, Berossus, seorang pendeta Bel dari Chaldea telah
menerbitkan buku berjudul Babylonika. Sebagai seorang sejarawan dia
tidak menolak pertimbangan-pertimbangan teoretis. Ia telah mengumpulkan
mite-mite bangsa Assiria serta menguraikan praktek-praktek keagamaan bangsa
Assiria yang kemungkinan besar dasar-dasar informasinya berasal dari
inskripsi-inskripsi ataupun dokumen-dokumen asli lainnya.
Antara tahun
302 dan 297 SM, Megasthenes diutus
sebagai duta besar untuk kerajaan Chandragupta olehe Selenous Nicator telah
menerbitkan buku Indica. Hecatasus dari Abdera (365-275 SM) telah
menulis Aegypta yang merupakan sumbangan bagi teologi agama orang Mesir.
Manetho (abad 3 SM) seorang pendeta Mesir telah menggarap masalah teologi agama
Mesir dengan judul yang sama, Aegyptica. Sehingga dengan demikian orang-orang
di Iskandariyah telah menjadi paham betul masalah mite, ritus serta kebiasaan
agama mereka.
Di
Athena, pada awal abad ke-3, Epikurus (340-270 SM) melakukan kritik radikal
terhadap agama. Dalam pandangannya, “consensus universal” menunjukkan atau
membuktikan bahwa para dewa memang benar-benar ada, namun ia menganggap
dewa-dewa itu sebagai wujud yang maha tinggi, jauh terpisah dan tidak memiliki
sambung-hubung apapun dengan manusia. Pendapatnya ini kemudian menjadi sangat
popular di dunia Latin di abad terakhir Sebelum Masehi di bawah pengaruh
Lucretius (98-53 SM).
Namun, golongan
Stoic-lah yang sangat mempengaruhi keseluruhan zaman kuno dengan jalan
memperkembangkan metode interpretasi alegoris yang memungkinkan mereka bisa memelihara
(mempertahankan) dan dalam waktu yang bersamaan menilai kembali
peninggalan-peninggalan mitologis. Menurut golongan Stoic baik dari sudut
pandangan filosofis ataupun dari sudut pandangan ajaran etika, mite itu muncul
atas dasar tabiat daripada benda-benda. Banyak nama-nama dari dewa-dewa
menunjuk kepada satu-satunya Tuhan Esa dan semua agama itu mengutarakan
kepercayaan fundamental yang sama, hanya berbeda dalam terminology. Metode
alegoris Stoic membuat kemungkinan untuk menterjemahkan setiap tradisi kunci
kuno dan tradisi-tradisi yang aneh-aneh di dalam suatu bahasa yang universal
dan bahasa yang dengan mudah dapat dipahami.
Dikalangan para
eklektis roma, Cicero (106-43 SM) dan Varro (116-27 SM) perlu disebutkan secara
khusus karena nilai historis keagamaan dari karya-karya mereka. Dalam karyanya
On The Nature Of The Gods (Tentang Hakikat Para Dewa), Cicero memberikan
suatu deskripsi yang cukup akurat tentang keadaan ritus-ritus dan
kenyakinan-kenyakinan yang ada pada abad terakhir zaman pagan.
Cicero
menunjukkan kesan yang jelas funngsi agama itu sebagai suatu disipilner, ajaran
etika dan daya kekuatan yang bersifat integratif. Di dalam buku On Divination,
Cicero telah mengkritik dan bahkan
mencemooh praktek-praktek ke-Tuhanan Romawi, padahal ia sendiri sebagai seorang
juru ramal resmi. Ia dikenal sebagai orang yang mencaci maki dan tidak
mengamalkan praktek-praktek keagamaan pada zamannya. Hal inilah yang
menyebabkan ia memisahkann masalah ke-Tuhanan dari masalah lembaga-lembaga
keagamaan serta praktek-praktek keagamaan lainnya.
Selama dua abad
pertama era Masehi, seorang penganut euhemers bernama Herennius Philon menulis
buku Phoenician History dan Pseudo Apolodorus menulis Library,
sebuah karya tentang mitologi. Neo Phitagoreanisme dan Neo-Paltonisme mulai
juga ikut serta membangkitkan interpretasi spiritual terhadap mitos-mitos dan
ritus-ritus. Contoh dalam tipikal dari madzhab penafsiran ini adalah Plutrach
(45/50-125), khususnya dalam karyanya On Isis And Osiris (Tentang Isis Dan
Osiris). Dalam pandangannya, keregaman berbagai bentuk agama hanyalah
penampakan luar semata, symbol-simbol menunjukkan adanya kesatuan fundamental
agama-agama.
Sedangkan
pandangan orang-orang Stoa kembali lagi dihidupkan oleh Seneca (2-66): berbagai
dewa-dewa adalah beragam aspek dari Tuhan yang satu. Sementara itu, deskripsi
tentang agama-agama asing dan kultus-kultus esoteric semakin bertambah banyak.
Julius Caesar (104-44 SM) dan Tacitus (55-120) memberikan informasi yang sangat
berharga mengenai agama-agama orang gaul dan orang-orang Jerman.
Selanjutnya
penulis-penulis Kristen apologist, diantaranya adalah Aristides dalam
tulisannya ia mencoba menginterpretasikan tentang agama kafir, Yahudi dan
Kristen. Clemant dari Alexandria, menulis tentang agama Budha. Roger Bacon
(1214-1249) menulis tentang agama-agama kafir dan Islam. Selanjutnya Marco Polo
yang menjelajah Asia Tengah pada tahun 1275 dan menghabiskan kurang lebih 17
tahun masa pengembaraannya telah banyak menambah wawasan tentang agama-agama
Timur di Eropa pada waktu itu.
Ketertarikan
kepada agama-agama asing juga telah bangkit di Barat selama Abad Pertengahan
dengan kehadiran Islam yang mengancam. Tahun 1141 Peter the Venerable telah
memiliki al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Robert de Retine. Saat itu Islam
telah memiliki karya-karya penting dalam kajian agama Pagan. Al-Biruni
(973-1048) telah memberikan uraian yang cukup berharga mengenai agama.
Namun terutama
adalah Ibnu Rusyd yang setelah secara mendasar mempengaruhi pemikiran Islam,
juga ditakdirkan untuk memberikan rangsangan pertama bagi trend intelektual di
negeri Barat. Dalam menafsirkan agama, Ibnu Rusyd menggunakan metode simbolik
dan alegorik. Ia menyimpulkan bahwa semua agama-agama monoteis adalah benar,
namun ia mengambil pendapat Aristoteles bahwa dalam dunia abadi, agama-agama
muncul dan lenyap silih berganti.
2.
Zaman
Pencerahan
Pada zaman
pencerahan
telah mulai dijumpai penyelidikan-penyelidikan agama pagan terutama disebabkan
karena cara innterpretasi Neo Paltonisme yang bersifat alegoris.
Marcilio Fecino
(1433-1499) telah menyusun suatu karya berjudul Platenio Teology, ia menganggap
dari ajaran Plotinus yang paling akhir itu menunjukkan bahwa Plotinus itu
adalah merupakan penerjemah ajaran Plato yang paling berwenang. Para humanis
berkeyakinan bahwa terhadap seluruh agama terdapat suatu kebiasaan tradisional,
bahwa untuk mendapatkan selamat cukup mengetahui tradisi tadi.
Pada tahun 1520
telah muncul buku yang pertama tentang sejarah agama secara umum yang berjudul The
Costums, Laws and Rites of all People karya Jean Boem dari ordo Teutonik.
Buku ini berisi kepercayaan orang-orang Eropa, Asia dan Afrika.
Kemudian
diikuti oleh Letters dan Relations yang diterbitkan oleh
misionaris ke Amerika dan Cina. Sebuah usaha awal untuk memperbandingkan
agama-agama Dunia Baru dengan agama zaman antic telah dilakukan oleh misionaris
J.F. Lafitau dalam karyanya Customs of the American Savages compared to the
Customs of the Earlier Ages, diterbitkan di Paris tahun 1724.
Tokoh yang
merupakan mata rantai yang menghubungkan antara zaman pertengahan dan
Renaissance adalah Giovani Boccaccio (1313-1375) dengan karyanya yang berjudul Genelogy
of the Gods. Buku ini merupakan suatu usaha untuk mensistematiskan
keseluruhan mitologi klasik yang dikenal pada zamannya. Setelah itu bermunculan
compendium-compendium baru yang sering-sering secara luas mencakup dewa-dewa
dari daerah-daerah Timur, dewa-dewa Celtio, Germanie dan dewa-dewa suku
terasing lainnya.
Lord Hebert
dari Cherbury (1583-1648) adalah merupakan salah seorang tokoh penting sebagai
pengkritik agama pada zamannya. Lord Hebert adalah salah seorang rasionalis
yang mula-mula menyatakan secara sistematis bentuk-bentuk prinsip dewa dalam
agama. Yang menjadi dasar teorinya adalah hubungan ide “insting alam” dengan
“pengertian umum”. Agama itu seharusnya memiliki pengertian umum, oleh karena
itu dijumpai pada segala bangsa dan didalam segala periode.
3.
Zaman
Modern
Nama Ilmu
Perbandingan Agama itu sebenarnya baru muncul pada bagian akhir pertengahan
abad ke 19 pada waktu F. Max Muller (1823-1900) seorang penulis Jerman menulis
dengan tegas nama Religion Wissenchaft didalam karyanya Chips from a German
Workshop yang terbit tahun 1867. Dengan Ilmu Perbandingan Agama ini Max
Muller bermaksud ingin menekankan bahwa ilmu baru ini terlepas dari filsafat
agama dan terutama terlepas dari ilmu teologis.
Namun menjelang
akhir abad 19 ketenaran teori Max Muller ini mulai pudar. Teori itu ditentnag
oleh para ahli sezamannya, terutama dari W. Maunhardt (1831-1880) dan Andrew
Lang (1844-1912).
Max Muller
menemukan asal-usul mitos dalam fenomena alami, dan menjelaskan kelahiran para
dewa-dewa sebagai sebuah “penyakit bahasa” yang pada awalnya ahanyalah sebuah
nama (nomen) menjadi sebuah keilahian (numen).
W. Maunhardt
dalam karya utamanya, Cults of Forest and Field, menunjukkan nilai
penting dari “mitologi rendah” yang masih rendah dalam kultus dan ritus kaum
petani yang dalam pandangan W. Maunhardt keyakinan-keyakinan ini lebih
menggambarkan tahap lebih awal dari agama ketimabng mitologi-mitologi natural
sebagaimana yang dikaji Max Muller.
Tahun 1871
muncul karya E.B Tylor, Primitive Culture, yang merupakan pencipta epos
dimana ia memunculkan suatu trend baru, yaitu tentang animism. Menurut teori
animistisnya Tylor, manusia primitive meyakini bahwa segala sesuatu ia memiliki jiwa dan bahwa keyakinan yang
fundamental dan universal ini tidak hanya dapat menjelaskan kultus terhadap
orang-orang mati dan nenek moyang, namun juga kemunculan dewa-dewa.
Gerakan lain
pada akhir abad 19 adalah yang oleh dilakukan Emile Durkheim (1858-1917), yang
meyakini bahwa ia telah menemukan penjelasan sosiologis bagi agama totemisme
(dikalangan orang Indian Owijiba di Amerika Utara totem menunjuk kepada bintang
yang namanya dijadikan nama suku/klan dan dianggap sebagai nenek moyang
mereka).
Namun pada
penyelidikan selanjutnya, terutama dalam karya agungnya, J.G. Frazer
(1854-1941) menunjukkan bahwa totemisme itu tidak menyebar secara universal dan
bahwa totemisme itu tidak bisa dipandang sebagai bentuk agama mula-mula.
Sarjana lain
yang sezaman dengan Durkheim adalah seorang filosof Perancis bernama Lucian
Levy-Bruhl (1857-1939). Yang menyatakan bahwa orang-orang primitive itu
memiliki mentalitas yang berbeda baik dalam derajat maupun dalam kualitas yang
disebut prologic. Menurut Levy, ciri masyarakat sivilisasi adalah
mencari penjelasan ilmiah terhadap fenomena alam. Sedangkan primitive tidak
menuntut penjelasan sebab akibat hokum alam.
Menurut
Levy-Bruhl bentuk pemikiran prologic manusia dulu itu dengan jelas sekali
diperlihatkan dengan melalui kepercayaan magico-religious. Terhadap segala yang
ada itu ditanggapi secara mistis. Demikian pula dalam masalah keagamaan
terdapat suatu suasana pertisipasi bersifat mistik baik antara manusia dengan
manusia maupun antara manusia dengan totem.
B.
Dunia
Timur
Cukup menarik bahwa di dunia Islam karangan atau tulisan tentang
perbandingan agama terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu
bumi dan sejarah. Misalnya tulisan agama-agama lain terdapat di dalam Kitab ad-Din
wad-Dawlah karangan Ali ibn Sahl Rabban at-Thabari. Namun harus diakui
bahwa beberapa tulisan tersebut bersifat apologis.
Selanjutnya pada abad ke-11 tampillah Ibn Hazm (994-1064), salah
seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid
tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan
dengan agama lain ialah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam
kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.
Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul
Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab al-Milal wan-Nihal
(1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab
dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu
orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.
Namun haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia
Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam
tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya al-Ajwibah al-Fakhirahan al-As’ilah
al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad
al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis
buku al-Islam wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban
terhadap tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa
tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain Hirrawi,
Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb.
Di sini perlulah disebut karangan
apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam,
karangan Ameer Ali.
Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan Ilmu
Perbandingan Agama di dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan
Barat. Sebagian besar kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat
apologis. Kitab-kitab yang membahas tentang agama lain banyak yang tidak
orisinil sumbernya. Sedikit yang orisinil dan itupun hanya mengenai agama
Kristen.
BAB III
Kesimpulan
Para ahli fikir telah menyelidiki agama yang sudah mereka anut
dalam hubunganya dengan agama yang lain. Pada masa awal penyelidikanya ini
mereka menggunakan pendekatan dari wahyu dan mitos-mitis dari suatu agama
tertentu.
Kemudian pada saat munculnya zaman rasionalisme,ilmu perbandingan
agama berubah dengan tidak lagi menggunakan pendekatan mitios lagi tetapi
pendeekatanya melalui kebudayaan dan bahasa,kemudian setelah perang dunia
pertama meletus tejadi lagi pergeseran perkembangan ilmu perbandingan agama
yang pada mulanya menggunakan pendekatan budaya beralih menggunakan pendekatan
filsafat dan teologi.
Perkembangan ilmu perkembangan agama juga ada dalam dunia
Islam,pada awalnya berkembang cukup bagus karena dalam penyelidikanya,para ahli
Islam tidak pilih kasih atau menyalahkan ajaran agama yang lain,tapi pada
perkembangan selanjutnya karena ada serangan dari orang-orang barat tentang
Islam maka perkembangan ilmu ini berubah berdasarkan apologi(berdasarkan agama
yang diyakini).
Daftar Pustaka
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida
kompleks IAIN Yogya,
Jirhanuddin, Perbandingan
Agama (Pengantar Studi Memahami Agama-Agama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2010, hal 24.
Ahmad Norma
Permata, Metodologi Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000,
Zakiah Daradjat dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara,
Jakarta 1996,
No comments:
Post a Comment