Social Icons

Pages

June 30, 2012

Makalah Pemerintahan Abu Bakar As-Siddiq


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, beliau tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau wafat. Tampaknya Nabi Muhammad SAW menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin itu sendiri untuk menentukannya. Karena beliau sendiri tidak pernah menunjuk di antara sahabatnya yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat bahkan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di Balai Kota Bani Saidah Madinah untuk memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Dalam musyawarah tersebut cukup berjalan alot, karena dari masing-masing pihak, baik dari Muhajirin maupun Anshar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.
Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar secara demokratis terpilih menjadi pemimpin umat Islam menggantikan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Rasa semangat ukhuwah Islamiyah yang dijiwai sikap demokratis tersebut dapat dibuktikan adanya masing-masing pihak menerima dan mau membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
2.      Rumusan Masalah
      Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana biografi Abu Bakar?
b.      Bagaimana proses pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah ?
c.       Bagaimana keadaan pemerintahan pada masa Khalifah Abu Bakar?
d.      Apa saja kemajuan-kemajuan yang diperoleh Abu Bakar?

3.   Tujuan Penulisan
      Tujuan penulisan pada makalah ini dalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui biografi Abu Bakar.
b.      Mengetahui pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah
c.       Mengetahui keadaan pemerintahan pada masa Khalifah Abu Bakar
d.      Mengetahui kemajuan-kemajuan yang diperoleh Abu Bakar.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Abu Bakar As-Siddiq
Abu Bakar As Siddiq lahir di Mekah pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum hijrah. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ustman bin ‘Amr bin Ka’b bin sa’d bin taim bin Murrah At Taimi. Dia merupakan khalifah pertama dari Al-Khulafa'ur Rasyidin , sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun), dan juga mendapat gelar As Siddiq karena ia bergegas membenarkan kerasulan Rasullulah terutama pada keesokan hari pada peristiwa "Isra Mi’raj". [1]
Ayahnya bernama Usman (juga disebut Abi Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Saad bin Taim bin Murra bin Kaab bin Luayy bin Talib bin Fihr bin Nadr bin Malik. Ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakhr. Kedua orang tuanya berasal dari suku Taim, suku yang melahirkan banyak tokoh terhormat. Dalam usia muda itu ia menikah dengan Qutailah binti Abdul Uzza.Dan perkawinannya ini lahir dua orang putra bernama Abdur Rahman dan Aisyah.[2]
Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang baik, sabar, jujur, dan lemah lembut, dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati. Sifat-sifat yang mulia itu membuat ia disenangi oleh masyarakat. la menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW semenjak keduanya masih remaja. Setelah dewasa ia mencari nafkah dengan jalan berdagang dan ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan, dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses.[3]
Abu Bakar adalah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka, ia adalah orang yang menerima dakwah tanpa ragu dan ia adalah orang pertama yang memperkuat agama Islam serta menyiarkannya. Di samping itu ia suka melindungi golongan lemah dengan hartanya sendiri dan kelembutan hatinya.[4]
Di samping itu, Abu Bakar dikenal mahir dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah keturunan). la menguasai dengan baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku arab, bahkan ia juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan masing-masing dalam bangsa arab.[5]
B.     Proses Pengangkatan Abu Bakar
Rasulullah tidak meninggalkan pesan kepada seorang juga dari sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum Muslimin sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum Muslimin berdasarkan hasil musyawarah diantara mereka sendiri . ketika berita wafat Rasulullah tersiar, berkumpulah golongan Muhajirin dan pihak Anshar di rumah Bani Sa’adah di Madinah. Mereka bermaksud hendak membai’at seseoarang dari golongan mereka.[6]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin dan pihak Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin. Situasi yang memanas inipun dapat diatasi oleh Abu Bakar, dengan cara Abu Bakar menyodorkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan baiat memilih Abu Bakar, seraya umar berkata kepadanya: bukankah Nabi telah menyuruhmu wahai Abu Bakar, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah Khalifah pengganti dan penerus beliau. Setelah itu kaum Muhajirin dan Anshar berturut-turut membai’atnya. Bai’at As Saqifah ini dinamakan bai’at Al Kahshshah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok kecil dari Muslimin, yakni mereka yang hadir di As Saqifah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu Bakar di atas mimbar Masjid Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara umum kaum muslimin membai’atnya.[7]
Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah dengan berbagai alasan yaitu,
1.      Abu Bakar adalah suku Quraisy dan ahli nasab, yang merupakan keahlian yang sangat berguna pada masa itu.[8]
2.       Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama yang pertama yang sangat memahami jalan pikiran beliau, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.[9]
3.      Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan. Beliau seorang dermawan yang mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam.[10]
C.    Pemerintahan Pada Masa Khalifah Abu Bakar
1.      Perbaikan Sosial
kebijakan sosial yang dilakukan Abu Bakar untuk menciptakan stabilitas wilayah Islam yaitu sebagai berikut:
a.       Hurub ahler riddah,(tindakan pembersihan) yaitu peperangan yang dilakukan membasmi kaum riddat yang menentang Islam. Tindakan pembersihan terhadap penghianat negara ini, bukan saja dilakukan terhadap mereka yang melakukan riddat, tetapi juga terhadap mereka yng tidak mau membayar zakat. Tindakan ini dijalankan secara konsekwen di zaman Khalifah I Abu Bakar, sehingga negara Islam dapat dibersihkan dari anasir-anasir yang berbahaya.[11]
b.      Al-Futuh (tindakan pembebasan) yaitu peperangan yang dikobarkan untuk membebaskan daerah-daerah dan rakyat yang dari penjajahan dan penindasan. Jika tindakan yang pertama di atasa adalah tindakan”kedalam” maka tindakan yang kedua ini adalah tindakan “keluar”, dimana umat Islam berhadapan dengan negara-negara penjajah yang berkuasa dimasa itu. Adapun tindakan pembebasan ini dilakukan atas tiga tingkatan:[12]
ü  Terhadap daerah-daerah Arabia, ialah tanah-tanah palestina dan Syria dari penjajahan Romawi, dari tanah-tanah Iraq dan Yaman dari penjajahan Persia.
ü  Daerah-daerah diluar Arabia, ialah Mesir dan seluruh Afrika Utara dari penjajahan Romawi.
ü  Pembebasan rakyat dari pemerintahan yang zalim, seperti meruntuhkan pemerintah Persi yang kejam.
2.      Sistem Politik 
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagaipemimpin pemerintahan. Tampaknya sistem politik Islam yang dijalankan masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti Nabi Muhammad Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.[13]
Sistem pemilihan kepala negara dizaman Abu Bakar yaitu menggunakan sistem musyawarah karena sistem musyawarah merupakan sistem yang paling baik dan sempurna dari pada segala cara yang dilakukan dengan sehabis kemampuan oleh manusia yang berfikiran maju sampai zaman sekarang.[14] Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran:159, sebagai berikut: yang artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.[15] kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S Ali Imron: 159).[16]
Sedang kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu: Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau masihhidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyakyang tidak setuju dengan kebijaksanaan Khalifah ini. Alasan mereka, karenadalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dankemurtadan yang merambah untukmenghancurkan Islam dari dalam. TetapiAbu Bakar tetap mengirim pasukan Usamah untuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan perintah Nabi SAW. Pengiriman pasukanUsamah ke Romawi di bumi Syam pada saat itu merupakan langkah politik yang diambil oleh Abu Bakar.
3.      Perekonomian
Sedangkan kebijakan yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian, Abu Bakar membentuk lembaga "Baitul Mal", semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi SAW yang digelari "amin al-ummah" (kepercayaan umat).[17]
Kebijakan lain yang ditempuh Abu Bakar yaitu membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.[18]
Selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.
4.      Budaya
Pada masa itu mereka memiliki kebiasan yaitu melakukan serangan-serangan mendadak untuk mendapatkan harta rampasan perang yang dilakukan oleh orang-orang Arab seperti terjadi diwilayah-wilayah Sasaniyah, merupakan kebiasaan pra–Islam . hal tersebut dilakukan karena pada saat itu perdagangan di Arab mengalami kehancuran, terutama setelah terjadi peperangan riddah.[19]
D.    Kemajuan-kemajuan yang dicapai Abu Bakar
Kemajuan yang telah dicapai pada masa pemerintahan Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun, antara lain:[20]
1.      Perluasan dan Pengembangan wilayah Islam
Adapun usaha yang ditempuh untuk perluasan dan pengembangan wilayah Islam Abu Bakar melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab.
Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua daerah itu menurut Abu Bakar harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu : Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan dan Surahbil bin Hasanah.

2.      Pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an
Sedangkan usaha yang ditempuh untuk pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an adalah atas usul dari sahabat Umar bin Khattab yang merasa khawatir kehilangan Al Qur'an setelah para sahabat yang hafal Al Qur'an banyak yang gugur dalam peperangan, terutama waktu memerangi para nabi palsu.
Alasan lain karena ayat-ayat Al Qur'an banyak berserakan ada yang ditulis pada daun, kulit kayu, tulang dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan mudah rusak dan hilang.[21]
Atas usul Umar bin Khattab tersebut pada awalnya Abu Bakar agak berat melaksanakan tugas tersebut, karena belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad SAW. Namun karena alasan Umar yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya, akhirnya Abu Bakar menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.[22]
3.      Sebagai Kepala Negara dan Pemimpin Umat Islam
Kemajuan yang diemban sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam, Abu Bakar senantiasa meneladani perilaku rasulullah SAW. Bahwa prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW selalu dipraktekkannya. Ia sangat memperhatikan keadaan rakyatnya dan tidak segan-segan membantu mereka yang kesulitan. Terhadap sesama sahabat juga sangat besar perhatiannya.[23]
Sahabat yang telah menduduki jabatan pada masa Nabi Muhammad SAW tetap dibiarkan pada jabatannya, sedangkan sahabat lain yang belum mendapatkan jabatan dalam pemerintahan juga diangkat berdasarkan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki. Selain itu didirikan pula lembaga peradilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khattab.

Persoalan besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon khalifah yang akan menggantikannya. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebit diterima masyarakat yang secara beramai-ramai membaiat Umar. Dengan demikian ia telah mempersempit peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya Abu Bakar tidak memilih anak atau kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat Umar bin Khattab.[24]



BAB III
PENUTUP

Pemerintahan Abu Bakar punya jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna, mencakup kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan. Kita sudah melihat betapa tingginya kesadaran Abu Bakar terhadap prinsip-prinsip yang berpedoman pada Al-Qur'an sehingga ia dapat memastikan untuk menanamkan pada dirinya batas antara kebenaran untuk kebenaran dengan kebohongan untuk kebenaran.
Prinsip-prinsip dalam Islam, dilukiskan Abu Bakar dengan mendorong kaum Muslimin memerangi orang-orang yang ingin menghancurkan Islam seperti halnya orang-orang murtad, orang-orang yang enggan membayar zakat, dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh karena itu Abu Bakar melaksanakan perang Riddah untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran.
Perjuangan Abu Bakar tidak hanya sampai di situ, ia juga melakukan berbagai peperangan demi kemajuan Islam. Bahkan ia tidak hanya mengorbankan jiwanya, hartanyapun ia korbankan demi Islam. Sampai pada akhir menjelang wafatnya pun peperangan belum terselesaikan, akan tetapi ia sempat memilih Umar bin Khatab sebagai penggantinya dengan meminta persetujuan dari kalangan para sahabat.




[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hal, 393.
[2]  hal. 3.

[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hal.25.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit.hal.396.
[7]  Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit.hal.397.
[8]  Shaban,  Op. Cit.hal. 25.
[9] Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hal. 77.
[10] Ibid.
[11] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya, Jakarta: Bulan Bintang. 1977, hal.139.
[12] Ibid.hal. 139-140.
[13]Badri  Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hal.36.
[14] Zainal Abidin Ahmad, Op. Cit.hal. 135.
[15]Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Indah Perss: Jakarta, 2004, hal. 103.
[17] Moh Fachruddin Fuad, Op. Cit.hal. 36.

[18] Ibid.
[19] Shaban, Op. Cit.hal.34.
[20]Chatibul Umam, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Kudus: Menara Kudus, 2003, hal. 140

[22]Ibid.
[23] Ibid.

[24] Badri  Yatim, Op. Cit.hal.37.

No comments:

Post a Comment