PEMBAHASAN
PUTUSNYA
PERKAWINAN DAN
AL-MUHARRAMAH
A.
Putusnya Perkawinan (Perceraian)
1.
Pengertian Putusnya Perkawinan
(Perceraian).
Perceraian
dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”.Talak
berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah”
berarti bercerai (lawan dari berkumpul).Lalu kedua kata itu dipakai oleh para
ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Perkataan
talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti
yang khusus.Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik
yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang
jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari
suami atau isteri.Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan
oleh pihak suami.
Karena
salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan
karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak
dalam arti yang khusus.
Meskipun
Islam membolehkan
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Tetapi perceraian tidak boleh dilaksanakan
setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama
Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan
asas – asas Hukum Islam.
2.
Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan
(Perceraian).
a.
Talak.
1)
Hak Talak.
Hukum
Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang
laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan
sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi.
Dengan
pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih
kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di
samping alasan ini, ada alasan lain yang memberikan wewenang/hak talak pada
suami, antara lain:
a)
Akad
nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu
dilaksanakan akad nikah.
b)
Suami
wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar
uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami
mentalak isterinya.
c)
Suami
wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d)
Perintah-perintah
mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.
2)
Syarat-Syarat
Menjatuhkan Talak.
Seperti
kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak
diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu.Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.
a)
Syarat-syarat
seorang istri supaya sah ditalak suaminya.
Syarat-syarat
seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah sebagai
berikut :
1)
Berakal
sehat.
2)
Telah
baliqh.
3)
Tidak
karena paksaan
Para ahli
Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah
dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan
dari pihak ketiga.Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan
berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu.
Misalnya
orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan
talak.Mengenai talak orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh
berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam
bertindak adalah di luar kesadaran.Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan
talak hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang
sedemikian rupa, sehingga apa yang dikatakannya hampir-hampir di luar kesadarannya.
b)
Syarat-syarat
seorang suami yang sah menjatuhkan talak.
Syarat-syarat
seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah sebagai
berikut :
1)
Isteri
telah terikat dengan
perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya,
maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
2)
Isteri
harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci
itu.
c)
Syarat-syarat
pada sighat talak.
Sighat
talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu
ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan
langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”.Adapula yang
diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ke orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan
daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
1)
Ucapan
suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
2)
Suami
mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak
kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak
kepada isterinya maka sighat talak yang
demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai
saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak
(talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak
terpenuhi (talak “muallaq”).
3)
Macam-Macam
Talak.
a)
Talak
raj’i
Talak
raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu
iddah.Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang
‘iwald dari pihak isteri.
b)
Talak
ba’in.
Talak
ba’in ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak
isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil.Pada talak
ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah.Kalau
si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru
yaitu dengan melaksanakan akad-nikah.
Di samping
talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari
talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami.Talak ba’in besar ini
mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya
baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang
mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Isteri
telah kawin dengan laki-laki lain.
2)
Isteri
telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
3)
Isteri
telah dicerai oleh suaminya yang baru.
4)
Talah
habis masa ‘iddahnya.
c)
Talak
sunni.
Talak
sunni ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah
Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri
dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat
isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami adalah halal.
d)
Talak
bid’i.
Talak
bid’i ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran
maupun Sunnah Rasul.Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang termasuk talak bid’i
ialah:
1)
Talak
yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.
2)
Talak
yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.
3)
Talak
yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya untuk
selama-lamanya.
b.
Khulu’.
Talak
khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri
dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau
uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang
menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya
kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak
yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif
untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau
pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
Syarat sahnya
khuluk ialah sebagai berikut :
1) Perceraian dengan khuluk itu harus
dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.
2) Besar kecilnya uang tebusan harus
ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.
Apabila tidak terdapat persetujuan
antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat
menentukan jumlah uang tebusan itu.Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak
usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan
karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.
c.
Syiqaq.
Syiqaq itu
berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan
suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan
yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut
Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat
menjadi hakam adalah sebagai berikut:
1) Berlaku adil di antara pihak yang
berpekara.
2) Dengan ikhlas berusaha untuk
mendamaikan suami-isteri itu.
3) Kedua hakam itu disegani oleh kedua
pihak suami-isteri.
4) Hendaklah berpihak kepada yang
teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
d.
Fasakh.
Arti
fasakh ialah merusakkan atau membatalkan.Ini berarti bahwa
perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh
hakim Pengadilan Agama.
Biasanya
yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang
diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:
1) Suami sakit gila.
2) Suami menderita penyakit menular
yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
3) Suami tidak mampu atau kehilangan
kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.
4) Suami jatuh miskin hingga tidak
mampu memberi nafkah pada isterinya.
5) Isteri merasa tertipu baik dalam
nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
6) Suami pergi tanpa diketahui
tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati
dan waktunya sudah cukup lama.
e.
Ta’lik talak.
Arti
daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu
talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah
disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.
Di
Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah.
Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen
Agama adalah sebagai berikut:
1)
Meninggalkan
isteri tersebut enam bulan berturut-turut.
2)
Tidak
memberi nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan.
3)
Menyakiti
badan/jasmani isteri.
4)
Membiarkan/tidak
memperdulikan isteri selama
enam bulan.
Talak satu yang dijatuhkan suami
berdasarkan ta’lik, mengakibatkan hak talak suami tinggal dua kali, apabila
keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.
Kalau kita perhatikan jatuhnya talak
dengan ta’lik ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama disertai uang
‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talak yang dijatuhkan atas dasar ta’lik
dianggap sebagai talak ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali dengan
jalan melaksanakan akad-nikah baru.
f.
Ila’.
Arti
daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam
kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum
perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya,
waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun
diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita
adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan
Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
1) Suami yang mengila’ isterinya
batasnya paling lama hanya empat bulan.
2) Kalau batas waktu itu habis maka
suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan
itu habis dan suami belum mentalak isterinya atau meneruskan hubungan
suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap
telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali
meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan
denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang
terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara
berurutan, yaitu:
1) Memberi makan sepuluh orang miskin
menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2) Memberikan pakaian kepada sepuluh
orang miskin, atau
3) Memerdekakan seorang budak, atau
kamu tidak sanggup juga maka.
4) Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
Pembayaran kafarah ini pun juga
harus dilaksanakan apabila suami mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada
masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah habis.
g.
Zhihar.
Zhihar
adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang
suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya.
Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa
tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini
diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
1)
Zhihar
ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan
di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung
ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
2)
Sumpah
seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan
sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.
3)
Akibat
dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau
hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar
kafarahnya lebih dulu.
4)
Bentuk
kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut
menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
a)
Memerdekakan
seorang budak, atau
b)
Puasa
dua bulan berturut-turut, atau
c)
Memberi
makan 60 orang miskin.
h.
Li’aan.
Arti li’an
ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia
menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta.Akibatnya
ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
Proses
pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat
6-9, sebagai berikut:
1)
Suami
yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut
menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
2)
Kalau
suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh
zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia
menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia
sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
3)
Untuk
membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat
kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup
menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
4)
Akibat
dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun
hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.
i.
Kematian.
Putusnya
perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan
yang meninggal.
Walaupun
dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun
bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru
dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang
lamanya empat bulan sepuluh hari.
B.
Al-Muharramah
1.
Haram Selama-Lamanya.
Mahram ini
berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh
seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain lelaki ini boleh melakukan
safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat
wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari
hukum-hukum mahram.
Mahram
sendiri terbagi menjadi empat kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan),
mahram karena penyusuan, mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan),
mahram karena mula’anah (saling melaknat).
a.
Mahram Karena Nasab (Keturunan).
1)
Ibu,
nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
2)
Anak
perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur
laki-laki maupun wanita.
3)
Saudara
perempuan sekandung, seayah atau seibu.
4)
Saudara
perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya
ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
5)
Saudara
perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya
ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
6)
Putri
saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
7)
Putri
saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah
subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)
b.
Mahram Karena Penyusuan.
Mahrram karena
penyusuanjuga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah
disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di
antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Dan
(diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan
saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23).
Dan hadits
yang marfu’ (artinya): “Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena
punyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas).
Hanya
saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan
dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan
Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah
yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Para ibu hendaklah
menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan
penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233).
Dan Hadits
‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan
adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah
yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa
(no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang
membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang
diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya
adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi
untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot
puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
c.
Mahram Mushaharah (Kekeluargaan Karena
Pernikahan).
Adapun
kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1)
Istri
bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa
ayat 23.
2)
Istri
anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3)
Ibu
mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4)
Anak
perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari
keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah
berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi
mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami
istri).Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan
harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya
menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.Dan mereka tetap sebagai mahram
meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati.
2.
Haram Sementara.
a.
Wanita
yang haram dinikahi untuk sementara waktu saja ialah: saudara perempuan
istri hingga istrinya di cerai dahulu dan masa iddahnya habis, atau ia
meninggal dunia.
b. Kemudian bibi istri baik dari jalur
bapaknya maupun dari jalur ibunya. Jadi ia tidak boleh dinikahinya. Jadi ia
tidak boleh dinikahinya hingga istrinya dicerai dahulu dan masa iddahnya habis
atau meninggal dunia. Hal itu berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. Bahwa
Rasulullah saw melarang seorang wanita dinikahi bersama-sama dengan bibinya,
baik dari jalur bapaknya atau dari jalur ibunya.(Mutafaqun ‘Alaih).
c. Wanita yang bersuami. Wanita
tersebut haram dinikahi hingga ia dicerai suaminya atau menjanda dan masa
iddahnya telah habis, berdasarkan firman Allh swt:
Artinya : Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami. ( An-Nisa’:24).
d. Wanita yang sedang menjalani masa
iddahnya karena perceraian atau suaminya meninggal dunia. Jadi wanita yang
seperti itu haram dinikahi dan dilamar hingga masa iddahnya habis. Tetapi tidak
ada salahnya menyindirnya, misalnya ia mengatakan kepadanya : “Aku tertarik
padamu”. Berdasarkan firman Allah:
Artinya : “janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf .
Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
‘iddahnya.”. (Al-Baqarah: 235).
e. Wanita yang telah ditalaq tiga kali
hingga ia menikah dengan suami lain dan berpisah dengannya karena perceraian
atau suaminya meninggal dunia dan masa iddahnya habis. Hal itu berdasarkan
firman Allah swt.
Artinya :“Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah: 230).
f. Wanita berzina hingga ia bertaubat
dan diketahui benar-benar bertaubat dan selesai massa iddahnya.
No comments:
Post a Comment