Social Icons

Pages

June 7, 2014

Cukup Hanya Tuhan Yang Tahu

"Cukup hanya Tuhan yang tahu". Sebuah kalimat yang seakan-akan sang pengucap sudah sangat lelah tuk menjelaskan semuanya kepada orang yang diajak bicara. Entah karena apa dan entah bagaimana dia harus menjelaskannya kembali hingga akhirnya kata-kata itulah yang keluar.

Sebagai fitrahnya manusia, tak ada manusia yang hidup sendiri. Dan tak ada manusia yang berbicara kepada dirinya sendiri kemudian dijawab sendiri, kecuali orang gila. Ini karena Tuhan menjadikan setiap makhluk selalu berpasangan dan saling mengenal kemudian tumbuh kasih sayang dan berakhir kepada penyatuan dua manusia menjadi satu kesatuan yang beragam. Namun, ketika seorang manusia, yang sangat merasa "kesendirian"nya dalam kehidupan ini, bagaimana fitrahnya manusia yang tercipta berpasangan agar tumbuh kasih sayang, bisa saling memahami dan bisa saling mencintai?

Tak ayal, hal ini juga pernah saya alami sendiri. Dimana saat itu, suatu masa yang harus benar-benar saya perjuangkan demi kebahagiaan hidup ku. Saat itu adalah saat saya benar-benar memutuskan untuk tidak mengenal lawan jenis tuk sementara waktu, dan saya benar-benar memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi sama teman-teman saya baik yang ada dikampus maupun di Jawa. Disaat itu pula, banyak sekali tekanan-tekanan yang membuat saya merenung dalam-dalam. Apa salah saya dan saya harus bagaimana? Ini yang selalu menghantui pikiran saya setiap tekanan itu datang.

Tak ada orang yang bisa saya ajak bicara, walau hanya sekedar mendengar. Karena bagi saya ini adalah masalah pribadi saya dan cukup saya yang tau. Dalam hati saya selalu berkata "Saya ingin menjelaskan semuanya dan saya ingin didengarkan. Jika apa yang saya lakukan itu salah, saya hanya ingin minta maaf." Seringkali kalimat ini yang selalu memenuhi isi hati saya.

Semua tekanan-tekanan itu saya pikir secara mendalam dalam hati. Mulai dari awal kronologinya hingga berakhir pada kesalahhan saya. Dalam hati, setiap tekanan itu datang, saya tidaklah menyatakan "saya tidak bersalah", namun saya menyadari semua itu juga termasuk kesalahan saya. Tetapi, jika diulang dari kronologi awal jelas kesalahan itu bukan dari saya. Namun apalah dikata, ibarat pepatah "Nasi sudah jadi bubur". Dan hal yang harus saya terima sebagai konskwensinya adalah saya harus disalahkan dan disalahkan lagi. Bagi saya pribadi tidak mengapa jika disalahkan, karena saya juga manusia biasa. Dan sejak tekanan awal itu datang, saya ingin menjelaskan secara face to face pada "induk"nya dan tentu secara damai. Namun hal itu tak pernah saya lakukan, karena saya selalu berfikir manfaat apa yang saya peroleh dari itu.

Dan pada akhirnyalah "Cukup Tuhan yang tahu" yang harus meredamkan semua angin badai yang saya hadapi. Tak perlu banyak orang yang mengetahui apa yang saya hadapi termasuk apa yang ada diisi dalam hati saya. Saya pun menyadari, tak bisa saya menyalahkan orang lain karena kesalahan saya sendiri jauh lebih banyak apalagi dosa yang saya perbuat, bak sampah yang penuh mengotori bumi. Dan sayapun tak lantas bahagia serta sombong dari semua tekanan itu. Dari itu semua, justru itu pembelajaran bagi saya bahwa Tuhan itu selalu ada untuk saya. Dalam hal ini pula saya tak lantas menjadikan diri saya orang yang sok atau bagaimana. Dan seharusnya pula, saya berterima kasih kepada sahabat saya yang selalu memberi tekanan tak kenal lelah, karena setiap tekanan itu datang dan kadang membuat saya "galau", dengan cara pemberian tekanan itulah dia menyadarkan saya untuk kembali kepada jalan Tuhan yang diridhoinya. Karena selama ini saya telah jauh menyimpang dari jalan Tuhan.

Terima kasih sahabat, tanpa mu saya tak akan pernah kembali kepada jalan Tuhan yang diridhoinya. Dan semoga kebahagiaan selalu tercurahkan kepadamu. Barakallah.

Pujian atau Ujian?

Tak perlu banyak yang dirisaukan. Semua orang hidup pasti sudah tentu merasakan walau levelnya berbeda. Ada yang sanggup dan ada pula yang tidak sanggup. Semua itu tergantung pada orangnya masing-masing.

Lantas, apakah kita bisa bangga jika kita mendapatkan pujian yang sebenarnya pujian itu hanyalah awal dari kehancuran berikutnya? Dalam artian, ujian yang kita hadapi itu belum berakhir dan pujian itu masih dalam kategori ujian berikutnya namun dengan suasana yang berbeda dan tidak menampakkan wujud ujiannya. Ujian dalam bentuk pujian inilah yang sering membuat kita terlena hingga kita lupa diri. Ibarat pepatah "Orang lupa daratan".

Masih tentang ujian dalam bentuk pujian, sebenarnya pujian ini belum berarti finally menyatakan diri kita pantas mendapatkan pujian itu. Hanya saja, suatu hal kecil yang membuat diri kita mendapatkan pujian dari orang konteksnya masih menguji kita, seberapa pantaskah kita mendapatkan sebuah pujian. Kebanyakan dari kita ketika mendapatkan pujian, kita langsung dengan sombongnya pamer, "lupa daratan", bahkan secara tidak langsung hati kita berkata "akulah yang pantas".

Jika merujuk dalam literatur agama, orang seperti ini termasuk orang riya' dan dikategorikan akhlak tercela. Akhlak yang dalam agama kita diperintahkan untuk menjauhinya. Jika melihat dalam kehidupan berrmasyarakat, orang seperti ini juga tidak disukai oleh orang-orang sekitar karena sifat dan sikapnya yang seakan-akan hanya dia yang bisa melakukan suatu hal dan pantas untuk dipuji.

Kembali ke topik awal, ketika seseorang memuji kita, pujian itu tidaklah bersifat permanen. Karena orang yang memuji itu hanya melihat sekilas apa yang telah kita lakukan dan tak menutup kemungkinan yang kita lakukan itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Namun, apabila orang yang memuji itu adalah orang terdekat kita yang sudah mengetahui banyak tentang diri kita, disamping memuji pasti juga memberi saran agar kita selalu berbuat baik dan tidak berperilaku sombong. Dan hal ini jarang kita dapatkan.

Kesimpulan sementara, janganlah sampai terlena oleh pujian seseorang bisa jadi pujian itu hanya untuk menghancurkan kehidupan kita. Dan sering-seringlah bertafakkur dengan apa yang telah dan apa yang akan kita lakukan. Apakah ada manfaatnya atau malah mendatangkan madlarat yang akan menimpa kita. Dan saya tegaskan kembali, LIHATLAH APA YANG DIKATAKAN JANGAN MELIHAT SIAPA YANG MENGATAKAN. Sekian untuk tulisan saya kali ini, semoga kita bisa mengambil ibrahnya. Amiin.

June 4, 2014

Asmara Anak Muda (Pacaran)

Sungguh sangat lucu orang berpacaran. Mereka sering mengucapkan sayang, janji setia, dll. Tanpa mereka sadari, selama masih pacaran itu hanya bibit kecurangan dari sekian banyaknya kesetiaan. Secara logika, ikatan pacaran hanya ikatan yang penuh kebohongan. Misal, klo orang pacaran apakah dengan brani mereka menunjukkan kepada orang tua mereka? Kemudian, klo memang brani, apakah itu bisa disebut kebanggaan tersendiri? Sungguh suatu kebohongan yang tersembunyi!!

Orang pacaran pun bisa disamakan dengan orang yang hidup penuh dengan kepura-puraan tidak mau mengakui kelemahan dirinya sendiri. Diambil contoh, ketika sang cowok tampil sering menraktir ceweknya, apakah uang itu dari kerringatnya sendiri? palingan juga minta sama orang tua, bisa juga ngutang dari kawan. Belum lagi ketika masing-masing pasangan saling memuji pasangannya sendiri. Khusus yang ini adalah sangat dimabuk asmara syaitan!!

Dari tulisan diatas hanyalah sekian kecil menggambarkan orang yang berpacaran. Tak menutup kemungkinan kalau saya tidak pernah pacaran. Hanya saja, apa yang saya tulis diatas bisa dijadikan bahan renungan terhadap diri kita sendiri. Sesuai dengan hadits Nabi "Lihatlah apa yang diucapkan jagan melihat orang yang mengucapkan". Karena saya akui sendiri terlalu banyak kesalahan dan dosa yang saya perbuat. Kalo tulisan diatas ada benarnya, itu hanya dari anugrah Allah sang pemberi hidayah, dan kalaupun ada kesalahan itu dari saya pribadi sebagai hamba yang tak pernah luput dari kesalahan dan dosa. Sekian dan terima kasih.