Orang sering keliru memahami tentang musik. Jika sebuah music
bernuansa padang pasir atau berbahasa Arab lalu disebut dengan music Islami.
Sedangkan jika music itu berbahasa Inggris maka tidak disebut dengan music
Islami. Memamg tidak dapat dipungkiri lagi bahwa music sudah menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Lantas, adakah music yang
bersifat Islami atau adakah music yang benar-benar Islami?
Untuk menjawabnya setidaknya ada dua pertanyaan yang harus dijawab.
Pertama, bagaimana hokum menyanyi? Kedua, bagaimana hukumnya memainkan alat
music?
Dalam hal hokum menyanyi (tanpa iringan alat music), para Ulama
masih berselisih pendapat. Para Ulama yang mengaharamkan menyanyi melandaskan
pendapatnya pada hadits Nabi:
الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء
الزرع
“Menyanyi dapat menimbulkan nifak di dalam hati,
sebagaiman air dapat menumbuhkan tanaman”.
Hadits ini juga didukung sejumlah ayat
al-Qur’an, seperti Q.S Luqman: 30, an-Najm: 59, dan al-Isra’: 64.
Namun berbeda dengan pendapat Imam Ibn
Arabi. Menurut beliau, kebanyaka Ulama cenderung tidak mengharamkan menyanyi
karena mengandung unsur seni. Suatu ketika beliau pernah berkata:
“Nyanyian adlah hiburan yang dapat
menggetarkan hati. Hal ini menurut pandangan banyak Ulama, termasuk didalamnya
Malik bin Abbas, tidak ada satupun ayat dalam al-qur’an dan sunnah yang
mengharamkannya.”
Masih menurut beliau, tidak ada satu pun
hadits shohih yang mengharamkan tentang menyanyi. Sementara landasan ayat
al-Qur’an tidak secara langsung berkenaan tentang persoalan menyanyi. Pendapat
ini dilandaskan pada hadits ‘Aisyah yang artinya, ‘Aisyah berkata: “Rasul masuk
ke kamarku, sementara didekatku ada dua orang hamba yang sedang bernyanyi
tentang Bu’ats. Lalu Rasul berbaring dan memalingkan muka. Kemudian Abu Bakar
masuk dan mendamparku sambil berkata: “Seruling setan didekat Rasulullah!”.
Rasul kemudian berbalik dan bersabda: “Biarkan mereka.” Setelah Abu Bakar
berlalu aku menyuruh dua budak keluar.”
Berbeda lagi dengan pendapat Imam
al-Gazhali. Menurut beliau, menyanyi dengan iringan alat music boleh asalkan
ada beberapa catatan, yakni:
·
Penyanyinya bukan perempuan yang haram dilihat serta
lantunan suaranya menimbulkan fitnah,
·
Alat musiknya bukan termasuk jenis alat yang oleh
syara’ tidak diperkenankan, seperti seruling, gitar dan gendang,
·
Lirik lagunya tidak mengandung kata-kata jorok, keji,
ejekan, pengingkaran terhadap Allah dan Rasulnya atau menggambarkan sosok
wanita,
·
Pendengar lagu tidak lantas dikuasai nafsu birahi dan
angkara murka lantaran mendengarkan lagu tersebut,
·
Lirik lagu yang dinyanyikan memungkinkan untuk
menambahkan rasa cinta kepada Allah.
Untuk memahami posisi music dalam pandangan
Islam, apa pun jenisnya kita bisa mengajukan pertanyaan: adakah music yang
lagunya sama sekali tidak dinyanyikan oleh wanita? Adakah music yang tidak
memakai alat seruling, gitar atau gendang? Adakah lirik lagu yang terbebas dari
lirik yang mendorong syahwat dan lirirk itu dapat menambah cinta seseorang pada
tuhannya? Jika jawabannya “tidak ada”, maka kita bisa mengatakan bahwa tidak
ada music yang bersifat Islami atau yang benar-benar Islami.
Abdul Qadir Ahmad Atha dalam sebuah karyanya
mengatakan:
“Pengharaman menggunakan alat music semacam
gitar disebabkan besarnya potensi untuk mendorong seseorang minum-minuman
keras, mengumbar kepuasan dengan menghadiri konser music yang sudah tentu
mengundang syahwat dengna suguhan lirik lagu dan goyangan yang aduhai.”
Argument ini berada dalam garis besar ide
bahwa segala macam kegiatan manusia seharusnya berada dalam rangka menigkatkan
kadar ketaatan kepada Allah SWT serta menghindarkan terjadinya fitnah dan
angkara murka. Maka dalam hokum Islam disebut dengan syadd adz-Dzari’ah, yakni
segala sesuatu yang berpotensi besar membawa seseorang melanggar tuntunan moral
dan ajaran agama, maka sekuat mungkin hal tersebut dicegah sebelum orang itu
benar-benar terseret melakukan sesuatu yang dikhawtirkan.
Referensi:
-
Fath al-Bari, Jilid XI
-
Hadza Halal wa Hadza Haram
-
Nail al-Authar, Juz VII
No comments:
Post a Comment