I.
BIOGRAFI
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn
Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat
Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman[1]. Di
Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama
Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam
dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu
Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari
buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya
pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan
Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang
yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari
filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan
bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu
saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 kali
membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li
Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan
penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala
simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia
menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[2]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa
bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun,
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang
yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori
kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit. Ia
tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap
kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya
petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak
pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan
membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan -
kesulitan yang dihadapinya.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter
dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga
pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali,
dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang
sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal,
perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa
ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu.[3]
Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak
menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga dimana tumbuh-tumbuhan banyak
membantu terhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak
(miningitis). Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran
darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William
Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya
lewat tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan
pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last
but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara
modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam
para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan
genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan
satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman
sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan
menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat
Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya
tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan
sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang
meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga
pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan
penerangan dan keterangan yang luas.”[4]
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal,
bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan
caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga
menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia, telah
diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan
Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari
kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain
dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan
Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam
sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan
sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya.
Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang
merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur.
Buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab
As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam.
II.
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA
A. Filsafat
Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus
terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku -
buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi
campuran berbagai persoalan filsafat. Memang tidak sukar untuk mencari unsur -
unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran
Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang
banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri
atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika
maupun segi pembahasan metafisika.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat
diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai
akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas,
Roger Bacon dan Dun Scot. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah
falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham
pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal
kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh
dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang
berada dibawah bulan.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan
kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya
Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki
disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian
merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain
dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain
itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya,
yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah
gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa
kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan
bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak
ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya
bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid
pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain
dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi
ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi
berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka
dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak
membuat faham tauhid tidak murni lagi.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini
melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta.
Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang
merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain,
berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam
arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu:
a) Segi
fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa
hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera
dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu
jiwa yang sebenarnya.
b) Segi
metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu
Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian:
·
Jiwa tumbuh -
tumbuhan dengan daya - daya:
-
Makan
(nutrition)
-
Tumbuh (growth)
-
Berkembang biak
(reproduction)
·
Jiwa binatang
dengan daya-daya:
-
Gerak (locomotion)
-
Menangkap (perception)
dengan dua bagian: Menangkap dari luar dengan panca indera, Menangkap dari
dalam dengan indera - indera dalam.
-
Indera bersama
yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
-
Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
-
Imaginasi yang
dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
-
Estimasi yang
dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
·
Jiwa manusia
dengan daya–daya: Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang
hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
-
Akal materiil
yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
-
Intelectual in
habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
-
Akal actuil,
yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
-
Akal mustafad
yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak
perlu pada daya upaya.
B. Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan
yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri.
Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di
luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu
wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu
Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi
dari filosof - filosof lain. Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut :
1) Essensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina
mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2) Essensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa
ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3) Essensi
yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi
tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya
dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai
wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[5]
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada: baharu (al-hadits) dan Qadim
(al-Qadim). Karena dalil mereka tentang
wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu,
yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula
“bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”.
Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum
Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara
pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para
mutakallimin antar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina
dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
C.
Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan
sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat
tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas
keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak
dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil,
akal intelektual, akal aktuil, dan akal
mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal
materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang
besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang
ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui
latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya
pada nabi-nabi.[6]
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang
mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni
sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai
kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam
kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong?.
Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan
dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu
struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak
akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum
dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan
negarawan yang sebenarnya.[7]
BAB
II
PENUTUP
-
Ibnu Sina
memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan
filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara
simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang
agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang
terlalu banyak berfikir.
-
Menurut Ibnu
Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan).
Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang
ada.
-
Tuhan adalah
wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud
(jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
-
Pemikiran Ibnu
Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul,
lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan
atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah
payah.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Prof. Dr. Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia), 1996
-
H. Zaenal Abidin
Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang),
1949
-
Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992
-
Imam Munawir, Mengenal
Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa Ke Masa, (Surabaya : PT. Bina
Ilmu), 1985
No comments:
Post a Comment